Jumat, 27 Januari 2012

LintasBudaya BaLi

1. Latar Belakang Provinsi Bali

a. Bali
Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan.
Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
b. Sejarah Bali
Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada 3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia. Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau. Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya ajaran Hindu dan tulisan Sansekerta dari India pada 100 SM.
Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan India yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Majapahit (1293–1500 M) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, ahli-ahli seni (artist) dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali.
Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah menjadi permanen yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai mati atau puputan yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah.
Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II dan saat itu seorang perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan Bali 'pejuang kemerdekaan'. Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang. Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu menggunakan senjata Jepang.
Pada 20 November 1945, pecahlah pertempuran Puputan Margarana yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang berusia 29 tahun, memimpin tentaranya dari wilayah timur Bali untuk melakukan serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir.
Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh Sukarno dan Hatta. Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949. Tahun 1950, secara resmi Bali meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia.
Letusan Gunung Agung yang terjadi di tahun 1963, sempat mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak penduduk Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di Indonesia.
Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah penumpasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari 100.000 orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian di masa awal Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum.Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat liputan internasional yang luas karena sebagian besar korbannya adalah wisatawan asing dan menyebabkan industri pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini.
c. Demografi
Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa, dengan mayoritas 92,3% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Buddha, Islam, Protestan dan Katolik. Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan perikanan. Sebagian juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang digunakan di Bali adalah Bahasa Indonesia, Bali dan Inggris khususnya bagi yang bekerja di sektor pariwisata.
Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya di Bali dan sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun terdapat beberapa dialek dalam bahasa Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan sebentuk bahasa Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem catur warna dalam agama Hindu Dharma dan keanggotan klan (istilah Bali: soroh, gotra); meskipun pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang.
Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga (dan bahasa asing utama) bagi banyak masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan yang besar dari industri pariwisata. Para karyawan yang bekerja pada pusat-pusat informasi wisatawan di Bali, sering kali juga memahami beberapa bahasa asing dengan kompetensi yang cukup memadai.
d. Sistem Transportasi
Bali tidak memiliki jaringan rel kereta api namun jaringan jalan yang sangat baik tersedia khususnya ke daerah-daerah tujuan wisatawan. Sebagian besar penduduk memiliki kendaraan pribadi dan memilih menggunakannya karena moda transportasi umum tidak tersedia dengan baik, kecuali taksi.
Jenis kendaraan umum di Bali antara lain:
1) Dokar, kendaraan dengan menggunakan kuda sebagai penarik
2) Ojek, taksi sepeda motor
3) Bemo, melayani dalam dan antarkota
4) Taksi
5) Komotra, bus yang melayani perjalanan ke kawasan pantai Kuta dan sekitarnya
6) Bus, melayani hubungan antarkota, pedesaan, dan antarprovinsi.
Bali terhubung dengan Pulau Jawa dengan layanan kapal feri yang menghubungkan Pelabuhan Gilimanuk dengan Pelabuhan Ketapang di Kabupaten Banyuwangi yang lama tempuhnya sekitar 30 hingga 45 menit. Penyeberangan ke Pulau Lombok melalui Pelabuhan Padangbai menuju Pelabuhan Lembar yang memakan waktu sekitar empat jam.
Transportasi udara dilayani oleh Bandara Internasional Ngurah Rai dengan destinasi ke sejumlah kota besar di Indonesia, Australia, Singapura, Malaysia, Thailand serta Jepang. Landas pacu dan pesawat terbang yang datang dan pergi bisa terlihat dengan jelas dari pantai.
e. Musik
Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik tradisional di banyak daerah lainnya di Indonesia, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat musik tabuh lainnya. Meskipun demikian, terdapat kekhasan dalam teknik memainkan dan gubahannya, misalnya dalam bentuk kecak, yaitu sebentuk nyanyian yang konon menirukan suara kera. Demikian pula beragam gamelan yang dimainkan pun memiliki keunikan, misalnya gamelan jegog, gamelan gong gede, gamelan gambang, gamelan selunding dan gamelan Semar Pegulingan. Ada pula musik Angklung dimainkan untuk upacara ngaben serta musik Bebonangan dimainkan dalam berbagai upacara lainnya.
Terdapat bentuk modern dari musik tradisional Bali, misalnya Gamelan Gong Kebyar yang merupakan musik tarian yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda serta Joged Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an. Umumnya musik Bali merupakan kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal (metalofon), gong dan perkusi kayu (xilofon). Karena hubungan sosial, politik dan budaya, musik tradisional Bali atau permainan gamelan gaya Bali memberikan pengaruh atau saling memengaruhi daerah budaya di sekitarnya, misalnya pada musik tradisional masyarakat Banyuwangi serta musik tradisional masyarakat Lombok. Beberapa alat musik Bali, diantaranya:
1) Gamelan
2) Jegog
3) Genggong
4) Silat Bali
f. Seni Tari
Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok, yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung dan balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung.
Pakar seni tari Bali, I Made Bandem pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan dan Wayang Wong, sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged serta berbagai koreografi tari modern lainnya.
Salah satu tarian yang sangat populer bagi para wisatawan ialah Tari Kecak. Sekitar tahun 1930-an, Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari ini berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
1) Tarian wali
a) Sang Hyang Dedari
b) Sang Hyang Jaran
c) Tari Rejang
d) Tari Baris
e) Tari Janger
2) Tarian bebali
a) Tari Topeng
b) Gambuh
3) Tarian balih-balihan
a) Tari Legong
b) Arja
c) Joged Bumbung
d) Drama Gong
e) Barong
f) Tari Pendet
g) Tari Kecak
h) Calon Arang
g. Pakaian Daerah
Pakaian daerah Bali sesungguhnya sangat bervariasi, meskipun secara selintas kelihatannya sama. Masing-masing daerah di Bali mempunyai ciri khas simbolik dan ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dan ekonomi seseorang dapat diketahui berdasarkan corak busana dan ornamen perhiasan yang dipakainya.
1) Pria
Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:
a) Udeng (ikat kepala)
b) Kain kampuh
c) Umpal (selendang pengikat)
d) Kain wastra (kemben)
e) Sabuk
f) Keris
g) Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.
2) Wanita
Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:
a) Gelung (sanggul)
b) Sesenteng (kemben songket)
c) Kain wastra
d) Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
e) Selendang songket bahu ke bawah
f) Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
g) Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.

2. Perkembangan Bahasa
Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari anak cabang Bali-Sasak. Bahasa ini terutama dipertuturkan di pulau Bali, pulau Lombok bagian barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya. Di Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau Jawa bahasa Bali terutama dipertuturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi. Selain itu bahasa Osing, sebuah dialek Jawa khas Banyuwangi, juga menyerap banyak kata-kata Bali. Misalkan sebagai contoh kata osing yang berarti “tidak” diambil dari bahasa Bali tusing. Bahasa Bali dipertuturkan oleh kurang lebih 4 juta jiwa.
Berbeda dengan banyak suku bangsa di dunia, namun masih mirip dengan suku bangsa penutur bahasa Austronesia lainnya, orang Bali dalam menentukan arah berorientasi bukan pada arah mata angin yang pasti namun pada letak kawasan geografis, pada kasus Bali ini pada letak gunung dan laut. Oleh karena itu arah mata angin bisa berubah-ubah sesuai tempatnya.
Kaja berarti arah menuju gunung. Oleh karena itu, terjemahan istilah 'kaja' dalam Bahasa Melayu adalah 'Utara' untuk masyarakat Bali Selatan, sementara terjemahannya untuk masyarakat Bali Utara, khususnya Buleleng, adalah 'Selatan'. Kelod berarti arah menuju laut. Berbalik dengan istilah 'kaja' diatas, jadi stilah 'kelod' dalam Bahasa Melayu adalah 'Selatan' untuk masyarakat Bali Selatan, sementara terjemahannya untuk masyarakat Bali Utara, khususnya Buleleng, adalah 'Utara'. Kauh berarti Barat, dan kangin berarti Timur. Hal ini sama untuk masyarakat Bali Selatan dan Bali Utara. Perbedaan tata-cara menyebut utara dan selatan ini sering menyebabkan kesalahpahaman jika orang Bali Selatan bertanya dalam Bahasa Bali kepada orang Bali Utara, karena perbedaan acuan. Acuan 'gunung' yang sering dipakai adalah titik pusat pulau Bali yaitu bagian pegunungan Batur dan Gunung Agung.
Bahasa Bali banyak terpengaruh bahasa Jawa, terutama bahasa Jawa Kuna dan lewat bahasa Jawa ini, juga bahasa Sansekerta. Kemiripan dengan bahasa Jawa terutama terlihat dari tingkat-tingkat bahasa yang terdapat dalam bahasa Bali yang mirip dengan bahasa Jawa. Maka tak mengherankanlah jika bahasa Bali halus yang disebut basa Bali Alus Mider mirip dengan bahasa Jawa Krama. Banyak kata-kata Bali yang halus diambil dari bahasa Jawa, misalnya “sudah” bahasa Melayu, “sampun” bahasa Jawa, dan “sampun” bahasa Jawa.
Bahasa bali baru merupakan bahasa bali yang masih hidup dikalangan penuturnya. Berdasarkan penuturnya Bahasa Bali Baru berkedudukan sebagai bahasa ibu. Bahasa itu masih digunakan, baik dalam situasi resmi maupun tidak resmi, lisan dan tulisan. Penutur bahasa bali baru adalah masyarakat Bali yang diam di Bali atau daerah-daerah lainnya di Indonesia. Perkembangan Bahasa Bali Baru kian meningkat ketika Indonesia dijajah oleh Hindia Belanda pada umumnya dan Bali pada khususnya. Ketika itu di Bali, Jagaraga jatuh ketangan Belanda pada Tahun 1849M. Sejak itu bahasa Bali Baru banyak menyerap unsur bahasa dari Belanda dan juga bahasa Melayu, sedangkan bahasa Belanda menjadi bahasa resmi kedua di Indonesia disamping bahasa Bali Baru adalah pelanjut bahasa Bali Tengahan. Lebih jauh, Bahasa bali tengahan yang sumber terakhirnya di kerajaan Klungkung makin melemah pengaruhnya karana Klungkung jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1901 M atau lazim disebut puputan Klungkung. Bahasa Bali Baru makin berkembang dengan terbitnya buku-buku berbahasa Bali Baru yang menggunakan huruf latin dan huruf Bali yang berisikan tentang pelajaran Bahasa, sastra, babad, etika, nyanyian, agama,dan lain-lain. Dimana media pengembangannya adalah lontar, lalu berkembang lagi menggunakan buku, majalah dan surat kabar.

3. Sistem Religi
Agama masyarakat Bali adalah Hindu Bali. Tak heran di Bali banyak sekali kuil atau pura tempat pemujaan. Sebagian kecil beragama Islam, Kristen dan Budha. Walau agama Hindu besar pengaruhnya terhadap kebudayaan penduduknya, orang Bali berhasil mempertahankan budaya aslinya, sehingga tidak sama dengan budaya India. Orang Hindu Bali percaya akan adanya satu Tuhan, dalam konsep Trimurti Yang Esa. Trimurti ini mempunyai tiga wujud atau manifesti. Brahmana, wujud yang menciptakan; Wisnu, wujud yang melindungi serta memelihara; Siwa, wujud yang melebur segala yang ada. Panca Yadnya (upacara) adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari:
a. Manusa Yadnya (upacara-upacara siklus hidup dari masa kanak-kanak sampai dewasa)
Gambar : Pernikahan
Suatu korban suci/pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan, di antaranya ialah:
1) Upacara selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
2) Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
3) Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton).
4) Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/Citra Wiwaha/Widhi-Widhana.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan-kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah termasuk Manusa Yadnya.
b. Pitra Yadnya (upacara kepada roh leluhur, meliputi upacara kematian sampai penyucian roh leluhur)
Gambar : Upacara Ngaben
Suatu korban suci/persembahan suci yang ditujukan kepada roh-roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
1) Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
2) Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
3) Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.






c. Dewa Yadnya (upacara pada kuil umum dan keluarga)
Gambar : Sembahyang
Suatu korban suci/persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat-tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari-hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari-hari raya lainnya seperti Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain- lain.
d. Resi Yadnya (upacara pentasbihan pendeta/mediksa)
Gambar:Pendeta
Suatu upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang-orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
1) Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
2) Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
3) Menghaturkan/ memberikan punia pada saat-saat tertentu kepada Sulinggih.
4) Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran para Sulinggih.
5) Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.
e. Buta Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada kala dan buta yaitu roh-roh yang dapat mengganggu).
Gambar : Upacara
Suatu korban suci/pengorbanan suci kepada Sarwa Bhuta yaitu makhluk- makhluk rendahan, baik yang terlihat (Sekala) ataupun yang tak terlihat (Niskala), hewan (binatang), tumbuh-tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa upacara Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Di dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur-unsur Panca Yadnya telah tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung yadnya mana yang diutamakan.



4. Sistem Perkawinan
Perkawinan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan perkawinan dilakukan di rumah mempelai pria, karena masyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki-laki. Hal ini berbeda dengan adat perkawinan jawa yang semua proses perkawinannya dilakukan di rumah mempelai wanita. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa hari setelah upacara perkawinan.
Rangkaian tahapan perkawinan adat Bali adalah sebagai berikut:
a. Upacara Ngekeb
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai, perkawinan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.
b. Mungkah Lawang (Buka Pintu)
Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
c. Upacara Mesegehagung
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang keping satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus keping.
d. Madengen–dengen
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian
e. Mewidhi Widana
Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan perkawinan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan
f. Mejauman Ngabe Tipat Bantal
Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.

5. Kaitan Budaya Bali dengan Psikologi Lintas Budaya
Kaitan Budaya Bali dengan Psikologi Lintas Budaya, dtinjau dari:
a. Perkembangan Moral
Pengembangan pariwisata di Bali memiliki dua dampak yaitu dampak positif dan dan dampak negatif. Dampak positif yang muncul antara lain peningkatan pendapatan daerah, peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Sedangkan dampak negatif yang dapat dilihat antara lain kerusakan dan pencemaran lingkungan yang dijadikan sebagai objek dan daya tarik wisata, peningkatan jumlah tindak kejahatan seperti pencurian dan perampokan, serta praktek prostitusi.
Ditinjau dari perspektif agama, prostitusi dilarang dan ditentang keras keberadaannya oleh semua agama di Indonesia. Namun, keberadaanya sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Ini tidak terlepas dari banyaknya permintaan (demand) terhadap prostitusi dan harus disikapi dengan peningkatan persediaan (supply) prostitusi. Praktek prostitusi dapat dilihat di berbagai tempat pariwisata di Bali seperti; Kuta dan Sanur. Keputusan untuk berprofesi sebagai pekerja seks komersial yang lazim disebut sebagai PSK (commercial sex worker) dilatarbelakangi oleh beberapa hal seperti; impitan ekonomi, broken-home, ketidakharmonisan dalam hubungan seks dengan pasangannya. Di antara penyebab tersebut, faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan, terlebih lagi krisis ekonomi dan politik yang menimpa Indonesia khususnya Bali dalam dasa warsa terakhir yang telah memaksa beberapa orang untuk bergelut dalam profesi itu.
Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks untuk tujuan ekonomi. Secara umum ada dua pelaku pekerja seks komersial yaitu; laki-laki yang sering disebut sebagai gigolo dan perempuan yang sering disebut wanita tuna susila (WTS). Konsumen pekerja seks komersial dibagi menjadi dua yaitu; konsumen lokal dan konsumen asing. Konsumen lokal yaitu konsumen yang berasal dari kalangan pekerja industri pariwisata, sopir, dan wisatawan lokal. Konsumen asing adalah konsumen yang berasal dari kalangan wisatawan asing dan orang asing yang berbisnis dan tinggal di Bali.
Berdasarkan modus operasinya, Pekerja seks komersial dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu; pekerja seks jalanan dan pekerja seks terselubung. Pekerja seks komersial jalanan biasanya beroperasi secara terbuka di jalan-jalan yang dilewati wisatawan, di dalam bar, restoran, dan karaoke. Mereka umumnya berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu dari berbagai daerah di Indonesia. Biasanya, mereka memiliki dan mengadakan perjanjian-perjanjian khusus seperti penentuan tariff, lokasi, dan pelayanan. Walaupun hanya memiliki kemampuan berbahasa asing yang sangat terbatas, mereka bisa dengan leluasa beoperasi dan berkomonikasi dengan calon pelanggan dan pelanggannya karena didukung oleh bahasa tubuh (body language).
Pekerja seks terselubung biasanya beroperasi secara tersembunyi yang sering kali menyamar sebagai pemandu wisata illegal dan freelance, pedagang asong, pegawai salon kecantikan, menyewakan papan selancar, dan menjual makanan dan minuman di sekitar Pantai Kuta. Profesi aslinya sangat berpeluang untuk mencari kerja sampingan. Mereka biasanya memanfaatkan waktu kerjanya untuk menggoda dan merayu calon pelanggannya dengan berbagai cara untuk mengadakan pendekatan. Upaya pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan pelanggan antara lain; dengan menawarkan diri sebagai teman, teman kencan, dan pemandu wisata. Kedekatan hubungan ini biasanya terus berlanjut walaupun pelanggannya sudah tidak di Bali lagi. Setidaknya mereka masih terus berkomunikasi dengan berbagai sarana seperti; telepon, surat, dan email.
Kedekatan hubungan antara Pekerja seks komersial dengan pelanggannya sering kali berlanjut sehingga tidak jarang digunakan sebagai sumber dana untuk biaya hidup di tengah hangar-bingarnya pariwisata seperti; tempat tinggal, makan dan minum, serta kebutuhan sehari-hari. Sebagian hubungannya terus berlanjut hingga ke pelaminan atau perkawinan.
b. Kepribadian
Bali adalah benar-benar pusat kebudayaan dunia yang memperkaya dan memberikan identitas untuk lokalisme, nasionalisme dan universalisme dan yang paling penting meningkatkan pencerahan dan kesejahteraan manusia.
Warisan budaya yang kaya dan energi kreatif yang dinamis Ika Bhinneka Bali mempromosikan Tunggal (Bhinneka Tunggal Ika) dan mematuhi kearifan budaya seperti tatwa (filsafat), Susila (etika) dan upacara (ritual), nilai proyek yang inovasi, toleransi, harmoni, etika, spiritualitas dan multikulturalisme.
Pada skala global, seni dan budaya Bali dapat menjadi muara dan model untuk hubungan lintas budaya yang mengilhami polarisasi kekuatan global yang hegemonik dan mengurangi benturan peradaban. Untuk mengoptimalkan perkembangan seni Bali di era global saat ini, ia mengatakan pemerintah Bali harus terus melestarikan dan mengembangkan seni religius sakral dengan melibatkan instansi terkait, termasuk desa Pekraman (otonom berbasis teritorial desa-desa tradisional).
Demikian pula, dalam menghadapi dan memahami lebih dari satu kebudayaan milik orang lain, seniman memiliki kebebasan untuk memilih dan selanjutnya mengartikulasikan sesuai dengan pola dan daya ungkap yang dimiliki. Janger Banyuwangi sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan yang berada dalam kawasan silang budaya Bali, Using, dan Jawa. Dialog antarbudaya dari ketiga etnis tersebut berlangsung secara mendalam, akrab, dan intensif. Melalui genius-genius lokal, ketiga budaya tersebut dapat dikreasikan menjadi sebuah performance yang khas.
c. Proses Akulturasi
Gambar : Bela Diri Khas Bali

Bali dengan masyarakat dan budaya yang unik dipastikan bukanlah satu wilayah migrasi yang baru tumbuh. Keseharian masyarakat Bali dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang.
Terinspirasi oleh pelukis Walter Spies yang pada tahun 1930-an dengan seniman tari Bali Wayan Limbak menggagas tarian Kecak, I Putu Winset Widjaya, seorang seniman beladiri menciptakan seni beladiri baru yang mengambil gerakan pencak kuno Bali sebagai dasarnya. Pencak tradisional Bali seperti itu Sitembak, 7 harian, dan Depok yang biasa juga disebut sebagai Tengklung dipadukanlah dengan drama, tari Bali dan jurus-jurus beladiri seperti Tae Kwon Do, Capioera dan lain-lain. Jadilah sebuah aliran bela diri baru yang diberi nama dalam bahasa Bali sebagai Mepantigan, yang artinya saling membanting.
Yang membedakan Mepantigan ini dengan pencak yang ada di Indonesia adalah lebih banyak mengutamakan kuncian dan bantingan. Untuk lebih menekankan ciri khas Bali Putu Winset mengembalikan kostum pencaknya ke pakaian asli pencak Bali kuno yaitu hanya mengenakan kain yang diikat sedemikian rupa menjadi seperti celana pendek (kamen kancut/mekancut guladginting) dipadukan dengan ikat kepala khas Bali yang biasa disebut Udeng. Pakaian ini di dapatnya dari literatur yang ada tentang pencak Bali kuno. Para pesilat Mepantigan menggunakan kain dan Udeng jika bertanding atau pertunjukan. Khusus untuk berlatih mereka menggunakan kostum merah putih dan kain batik sebagai penanda bahwa Mepantigan adalah berasal dari Indonesia.
Putu Winset sendiri sebelumnya menguasai Tae Kwon Do, lalu setelah bergaul dan berlatih tanding dengan pendekar-pendekar tua Bali dia terkagum-kagum dengan daya serangnya yang mematikan. Seperti “total football” dimana setiap pertahanan menjadi sebuah serangan yang membahayakan. Lalu dia mempelajari pencak Bali seperti Sitempak, Depok dan 7 Harian. Dari sanalah ide untuk memadukan pencak bali dengan beladiri lain, itulah Mepantigan.
Mepantigan sedikit demi sedikit mulai berkembang di Bali dan diajarkan di beberapa tempat secara masal dan juga perorangan. Mepantigan banyak diminati oleh murid-murid sekolah international yang nota bene warga Negara asing. Bahkan Mepantigan juga mulai diperkenalkan sebagai seni pertunjukan beladiri di hotel Arma di Ubud. Di hotel itu mereka rutin mempertunjukannya setiap Kamis malam lengkap dengan iringan tetabuhan gamelan. Semoga saja Mepantigan menjadi seperti tari Kecak yang menjadi salah satu ikon Bali dan semakin memperkaya khazanah seni dan budaya Bali.
d. Proses Asimilasi
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.
Pada ranah individual adalah budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan masing-masing dan saling memberi pengaruh. Ketika budaya sudah terbentuk, setiap individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan, sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap tempat dan situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat bahwa budaya sangat mempengaruhi perilaku individu.
Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Psikologi budaya mencoba mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya. Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.
Sebagai makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam bertingkah laku. Tingkah laku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan.
Penduduk Bali Asli dulunya merupakan penganut kepercayaan yang percaya kepada alam, namun setelah melalui proses adaptasi dari Penduduk keturunan Majapahit, umumnya penduduk bali beragama Hindu, walaupun sekarang ini sudah banyak juga penduduk Bali yang beragama lain. Kepercayaan Hindu di Bali sedikit berbeda dengan kepercayaan Hindu yang berasala dari kerajaan Majapahit yang mulanya berawal dari India, karena kebudayaan Bali telah melalui proses adaptasi dari dua macam penduduk tersebut.dari proses asimilasi tersebut, kebudayaan bali dan india saling menyesuaikan diri.
































DAFTAR PUSTAKA


Koentjaraningrat (2002). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia


Matsumoto, D. (2002). Culture, psychology, and education. In W. J. Lonner, D. L.

Dinnel, S. A.Hayes, & D. N. Sattler (Eds.), Online Readings in Psychology and Culture (Unit 2, Chapter 5), (http://www.ac.wwu.edu/~culture/index-cc.htm), Center for Cross-Cultural Research, Western Washington University, Bellingham, Washington USA

Ratner, C. (2000). Outline of Coherent, Comprehensive Concept of Culture : The Problem of Fragmentary Notions of Culture. Cross-Cultural Psychology Bulletin, 35 : 5-11

Segall, M.H., Dasen, P.R., Berry, J.W., & Poortinga, Y.H. (1999). Human Behavior in Global Perspective : An Introduction to Cross-Cultural Psychology. New York : Pergamon Press.

Smith, P.B., & Bond, M.H. (1994). Social Psychology Across Cultures : Analysis and Perspectives. Boston : Allyn and Bacon.

Triandis, H.C. (1994). Culture and Social Behavior. New York : McGraw-Hill.

Triandis, H. C. (2002). Odysseus wandered for 10, I wondered for 50 years. In W. J. Lonner, D. L. Dinnel, S. A. Hayes, & D. N. Sattler (Eds.), Online Readings in Psychology and Culture (Unit 2, Chapter 1), (http://www.ac.wwu.edu/~culture/index-cc.htm), Center for Cross-Cultural Research, Western Washington University, Bellingham, Washington USA.

Van Peursen, C.A. (1988). Strategi Kebudayaan (terj. Dick Hartoko). Yogyakarta : Kanisius.

http://www.psychologymania.co.cc/2010/04/budaya-dan-hubungannya-dengan-psikologi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar