Jumat, 15 Juni 2012

Artikel Psikologi Kesehatan Mental

Artikel Psikologi Kesehatan Mental Beberapa waktu lalu muncul laporan mengenai tanda-tanda orang kecanduan Facebook atau situs jejaring sosial lainnya, misalnya Anda mengubah status lebih dari dua kali sehari dan rajin mengomentari perubahan status teman. Anda juga rajin membaca profil teman lebih dari dua kali sehari meski ia tidak mengirimkan pesan atau men-tag Anda di fotonya. Laporan terbaru dari The Daily Mail menyebutkan, kecanduan situs jejaring sosial seperti Facebook atau MySpace juga bisa membahayakan kesehatan karena memicu orang untuk mengisolasikan diri. Meningkatnya pengisolasian diri dapat mengubah cara kerja gen, membingungkan respons kekebalan, level hormon, fungsi urat nadi, dan merusak performa mental. Hal ini memang bertolak belakang dengan tujuan dibentuknya situs-situs jejaring sosial, di mana pengguna diiming-imingi untuk dapat menemukan teman-teman lama atau berkomentar mengenai apa yang sedang terjadi pada rekan Anda saat ini. Suatu hubungan mulai menjadi kering ketika para individunya tak lagi menghadiri social gathering, menghindari pertemuan dengan teman-teman atau keluarga, dan lebih memilih berlama-lama menatap komputer (atau ponsel). Ketika akhirnya berinteraksi dengan rekan-rekan, mereka menjadi gelisah karena "berpisah" dari komputernya. Si pengguna akhirnya tertarik ke dalam dunia artifisial. Seseorang yang teman-teman utamanya adalah orang asing yang baru ditemui di Facebook atau Friendster akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi secara face-to-face. Perilaku ini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang serius, seperti kanker, stroke, penyakit jantung, dan dementia (kepikunan), demikian menurut Dr Aric Sigman dalam The Biologist, jurnal yang dirilis oleh The Institute of Biology. Pertemuan secara face-to-face memiliki pengaruh pada tubuh yang tidak terlihat ketika mengirim e-mail. Level hormon seperti oxytocin yang mendorong orang untuk berpelukan atau saling berinteraksi berubah, tergantung dekat atau tidaknya para pengguna. Beberapa gen, termasuk gen yang berhubungan dengan sistem kekebalan dan respons terhadap stres, beraksi secara berbeda, tergantung pada seberapa sering interaksi sosial yang dilakukan seseorang dengan yang lain. Menurutnya, media elektronik juga menghancurkan secara perlahan-lahan kemampuan anak-anak dan kalangan dewasa muda untuk mempelajari kemampuan sosial dan membaca bahasa tubuh. "Salah satu perubahan yang paling sering dilontarkan dalam kebiasaan sehari-hari penduduk Inggris adalah pengurangan interaksi dengan sesama mereka dalam jumlah menit per hari. Kurang dari dua dekade, jumlah orang yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat diajak berdiskusi mengenai masalah penting menjadi berlipat." Kerusakan fisik juga sangat mungkin terjadi. Bila menggunakan mouse atau memencet keypad ponsel selama berjam-jam setiap hari, Anda dapat mengalami cidera tekanan yang berulang-ulang. Penyakit punggung juga merupakan hal yang umum terjadi pada orang-orang yang menghabiskan banyak waktu duduk di depan meja komputer. Jika pada malam hari Anda masih sibuk mengomentari status teman Anda, Anda juga kekurangan waktu tidur. Kehilangan waktu tidur dalam waktu lama dapat menyebabkan kantuk berkepanjangan, sulit berkonsentrasi, dan depresi dari sistem kekebalan. Seseorang yang menghabiskan waktunya di depan komputer juga akan jarang berolahraga sehingga kecanduan aktivitas ini dapat menimbulkan kondisi fisik yang lemah, bahkan obesitas. Tidak heran jika Dr Sigman mengkhawatirkan arah dari masalah ini. "Situs jejaring sosial seharusnya dapat menjadi bumbu dari kehidupan sosial kita, namun yang kami temukan sangat berbeda. Kenyataannya situs-situs tersebut tidak menjadi alat yang dapat meningkatkan kualitas hidup, melainkan alat yang membuat kita salah arah," tegasnya. Namun, bila aktivitas Facebook Anda masih sekadar sign in, mengonfirmasi friend requests, lalu sign out, tampaknya Anda tak perlu khawatir bakal terkena risiko kanker, stroke, bahkan menderita pikun.

Artikel Psikologi Kepribadian "Electra Complex dan Oedipus Complex"

Apa itu Electra Complex dan Oedipus Complex Dipublikasi pada Mei 15, 2010 oleh Admin Blog oedipus-electra-complex Electra complex [Kompleks Electra] adalah istilah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan perasaan romantis seorang gadis terhadap ayahnya dan marah terhadap ibunya. Electra complex [Kompleks Electra] seperti halnya dengan Oedipal Complex [Kompleks Oedipus] pada laki-laki. Menurut Sigmund Freud, perkembangan psikoseksual seorang anak perempuan pada awalnya melekat pada ibunya. Ketika ia menemukan bahwa ia tidak memiliki penis, ia menjadi melekat pada ayahnya dan mulai membenci ibunya, yang menganggap ibunya telah melakukan “pengebirian dirinya”. Freud percaya bahwa seorang anak perempuan kemudian mulai mengidentifikasi dan meniru ibunya karena takut kehilangan cinta ayahnya. Istilah Electra Kompleks memang sering dikaitkan dengan Freud, namun sebenarnya Carl Jung telah menciptakan istilah ini pada tahun 1913. Freud sendiri menolak istilah tersebut, karena menggambarkan penyederhanaan upaya untuk memahami analogi antara sikap dari dua jenis kelamin. Freud sendiri menggunakan istilah Oedipus sebagai sebuah sikap feminin untuk menggambarkan apa yang sekarang kita sebut sebagai Electra complex [Kompleks Electra]. Oedipal Complex [kompleks Oedipus] Oedipal Complex [kompleks Oedipus] merupakan suatu istilah yang digunakan oleh Freud dalam teorinya tentang tahap perkembangan psikoseksual untuk menggambarkan perasaan seorang anak laki-laki yang mencintai untuk ibunya, disertai rasa cemburu dan kemarahan terhadap ayahnya. Menurut Freud, anak laki-laki itu ingin memiliki ibunya dan menggantikan ayahnya, yang ia dilihat sebagai pesaing untuk mendapatkan kasih sayang ibunya. Oedipal Complex terinspirasi dari karakter di Sophocles [cerita kuno yunani] dimana ‘Oedipus Rex yang secara tidak sengaja membunuh ayahnya dan menikahi ibunya’.

Artikel Psikologi "Inteligensi dan IQ "

Inteligensi dan IQ Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah : Faktor bawaan atau keturunan Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal. Faktor lingkungan Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Inteligensi dan IQ Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan. Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan. Pengukuran Inteligensi Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911. Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun. Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat. Inteligensi dan Bakat Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi. Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey. Inteligensi dan Kreativitas Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas. Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.

Artikel Psikologi "Mengenal Persepsi, Ilusi, dan Halusinasi"

Mengenal Persepsi, Ilusi, dan Halusinasi Kita tentu sering sekali mendengar istilah persepsi, ilusi, maupun halusinasi. Pada ilmu kejiwaan, kata-kata tersebut sangat akrab bagi mereka yang berkecimpung di dalamnya. Tapi apa sebenarnya persepsi, ilusi, dan halusinasi ditinjau dari sisi kejiwaan ? Persepsi adalah hasil interaksi antara dua faktor, yaitu faktor rangsangan sensorik yang tertuju kepada individu atau seseorang dan faktor pengaruh yang mengatur atau mengolah rangsangan itu secara intra-psikis. faktor-faktor pengaruh itu dapat bersifat biologis, sosial, dan psikologis. Karena adanya proses pengaruh-mempengaruhi antara kedua faktor tadi, di mana di dalamnya bergabung pula proses asosiasi, maka terjadilah suatu hasil interaksi tertentu yang bersifat "gambaran psikis". Ilusi adalah suatu persepsi panca indera yang disebabkan adanya rangsangan panca indera yang ditafsirkan secara salah. Dengan kata lain, ilusi adalah interpretasi yang salah dari suatu rangsangan pada panca indera. Sebagai contoh, seorang penderita dengan perasaan yang bersalah, dapat meng-interpretasikan suara gemerisik daun-daun sebagai suara yang mendekatinya. Ilusi sering terjadi pada saat terjadinya ketakutan yang luar biasa pada penderita atau karena intoksikasi, baik yang disebabkan oleh racun, infeksi, maupun pemakaian narkotika dan zat adiktif. Ilusi terjadi dalam bermacam-macam bentuk, yaitu ilusi visual (penglihatan), akustik (pendengaran), olfaktorik (pembauan), gustatorik (pengecapan), dan ilusi taktil (perabaan). Halusinasi adalah persepsi panca indera yang terjadi tanpa adanya rangsangan pada reseptor-reseptor panca indera. Dengan kata lain, halusinasi adalah persepsi tanpa obyek. Halusinasi merupakan suatu gejala penyakit kejiwaan yang gawat (serius). Individu mendengar suara tanpa adanya rangsangan akustik. Individu melihat sesuatu tanpa adanya rangsangan visual, membau sesuatu tanpa adanya rangsangan dari indera penciuman. Halusinasi sering dijumpai pada penderita Schizophrenia dan pencandu narkoba. Halusinasi juga dapat terjadi pada orang normal, yaitu halusinasi yang terjadi pada saat pergantian antara waktu tidur dan waktu bangun. Hal ini disebut halusinasi hypnagogik. Bermacam-macan bentuk halusinasi Halusinasi akustik (pendengaran) Halusinasi ini sering berbentuk : * Akoasma, yaitu suara-suara yang kacau balau yang tidak dapat dibedakan secara tegas * Phonema, yaitu suara-suara yang berbentuk suara jelas seperti yang berasal dari manusia, sehingga penderita mendengar kata-kata atau kalimat kalimat tertentu Halusinasi visual (penglihatan) Penderita melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi visual sering menimbulkan ketakutan yang hebat pada penderita. Halusinasi olfaktorik (pembauan) Penderita membau sesuatu yang tidak dia sukai. Halusinasi ini merupakan gambaran dari perasaan bersalah penderitanya. Halusinasi gustatorik (pengecap) Halusinasi gustatorik murni jarang dijumpai, tetapi sering terjadi bersama-sama dengan halusinasi olfaktorik. Halusinasi taktil (perabaan) Halusinasi ini sering dijumpai pada pencandu narkotika dan obat terlarang. Halusinasi haptik Halusinasi ini merupakan suatu persepsi, di mana seolah-olah tubuh penderita bersentuhan secara fisik dengan manusia lain atau benda lain. Seringkali halusinasi haptik ini bercorak seksual, dan sangat sering dijumpai pada pencandu narkoba. Halusinasi kinestetik Penderita merasa bahwa anggota tubuhnya terlepas dari tubuhnya, mengalami perubahan bentuk, dan bergerak sendiri. Hal ini sering terjadi pada penderita Schizophrenia dan pencandu narkoba. Halusinasi autoskopi Penderita seolah-olah melihat dirinya sendiri berdiri di hadapannya. Penderita Schizophrenia sangat perlu dikasihani karena penderitaan yang dialaminya. Tetapi mengapa banyak orang memilih untuk mengubah hidupnya yang indah dan berharga dengan memakai narkoba dan mengalami berbagai macam gangguan kejiwaan yang serius ? Tak seorangpun yang tahu ...

Artikel PSIKOLOGI 'Stres dan Penanggulangannya'

Stres dan Penanggulangannya Hidup manusia ditandai oleh usaha-usaha pemenuhan kebutuhan, baik fisik, mental-emosional, material maupun spiritual. Bila kebutuhan dapat dipenuhi dengan baik, berarti tercapai keseimbangan dan kepuasan. Tetapi pada kenyataannya seringkali usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut mendapat banyak rintangan dan hambatan. Tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan hidup ini sering membawa manusia berada dalam keadaan stress. Stress dapat dialami oleh segala lapisan umur. Stress dapat bersifat fisik, biologis dan psikologis. Kuman-kuman penyakit yang menyerang tubuh manusia menimbulkan stress biologis yang menimbulkan berbagai reaksi pertahanan tubuh. Sedangkan stress psikologis dapat bersumber dari beberapa hal yang dapat menimbulkan gangguan rasa sejahtera dan keseimbangan hidup. SUMBER STRESS Sumber stress dapat digolongkan dalam bentuk-bentuk: 1. Krisis Krisis adalah perubahan/peristiwa yang timbul mendadak dan menggoncangkan keseimbangan seseorang diluar jangkauan daya penyesuaian sehari-hari. Misalnya: krisis di bidang usaha, hubungan keluarga dan sebagainya. 2. Frutrasi Frustrasi adaah kegagalan dalam usaha pemuasan kebutuhan-kebutuhan/dorongan naluri, sehingga timbul kekecewaan. Frutrasi timbul bila niat atau usaha seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan (dari luar: kelaparan, kemarau, kematian, dan sebagainya dan dari dalam: lelah, cacat mental, rasa rendah diri dan sebagainya) yang menghambat kemajuan suatu cita-cita yang hendak dicapainya. 3. Konflik Konflik adalah pertentangan antara 2 keinginan/dorongan yaitu antara kekuatan dorongan naluri dan kekuatan yang mengenalikan dorongan-dorongan naluri tersebut. 4. Tekanan Stress dapat ditimbulkan tekanan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang besar yang harus ditanggungnya. (Dari dalam diri sendiri: cita-cita, kepala keluarga, dan sebagainya dan dari luar: istri yang terlalu menuntut, orangtua yang menginginkan anaknya berprestasi). AKIBAT STRESS Akibat stress tergantung dari reaksi seseorang terhadap stress. Umumnya stress yang berlarut-larut menimbulkan perasaan cemas, takut, tertekan, kehilangan rasa aman, harga diri terancam, gelisah, keluar keringat dingin, jantung sering berdebar-debar, pusing, sulit atau suka makan dan sulit tidur). Kecemasan yang berat dan berlangsung lama akan menurunkan kemampuan dan efisiensi seseorang dalam menjalankan fungsi-fungsi hidupnya dan pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai macam gangguan jiwa. REAKSI TERHADAP STRESS Reaksi seseorang terhadap stress berbeda-beda tergantung dari: 1. Tingkat kedewasaan kepribadian 2. Pendidikan dan pengalaman hidup seseorang Reaksi psikologis yang mungkin timbul dalam menghadapi stress: 1. menghadapi langsung dengan segala resikonya. 2. menarik diri dan tak tahu menahu tentang persoalan yang dihadapinya/lari dari kenyataan. 3. menggunakan mekanisme pertahanan diri. PENANGGULANGAN STRESS * Mengenal dan menyadari sumber-sumber stress. * Membina kedewasaan kepribadian melalui pendidikan dan pengalaman hidup. * Mengembangan hidup sehat. Antara lain dengan cara: merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, tidak tergesa-gesa ingin mencapai keinginannya, menyadari perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, dan sebagain * ya. * Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala sesuatu yang terjadi dengan tetap beriman kepadaNYa. * Minta bimbingan kepada sahabat dekat, orang-orang yang lebih dewasa, psikolog, orang yang dewasa rohaninya, dan sebagainya). * Hindarkan sikap-sikap negatif antara lain: memberontak terhadap keadaan, sikap apatis, marah-marah. Hal-hal tersebut tidak menyelesaikan masalah tetapi justru membuka masalah baru.

Artikel Psikologi 'Mengenal & Membimbing Anak Hiperaktif '

Mengenal & Membimbing Anak Hiperaktif Apa sebenarnya yang disebut hiperaktif itu ? Gangguan hiperaktif sesungguhnya sudah dikenal sejak sekitar tahun 1900 di tengah dunia medis. Pada perkembangan selanjutnya mulai muncul istilah ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity disorder). Untuk dapat disebut memiliki gangguan hiperaktif, harus ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif. Inatensi Inatensi atau pemusatan perhatian yang kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain. Hiperaktif Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik. Impulsif Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah. Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif * Problem di sekolah Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa * Problem di rumah Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan-hambatan tersbut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak. * Problem berbicara Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat. * Problem fisik Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya. Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab hiperaktif pada anak : Faktor neurologik * Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distres fetal, persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimia gravidarum atau eklamsia dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu faktor-faktor seperti bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ibu yang terlalu muda, ibu yang merokok dan minum alkohol juga meninggikan insiden hiperaktif * Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang neuoralogi yang sampai kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi pada salah satu neurotransmiter di otak yang bernama dopamin. Dopamin merupakan zat aktif yang berguna untuk memelihara proses konsentrasi * Beberapa studi menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbital-prefrontal, daerah orbital-limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan Faktor toksik Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu, kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat, ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat hamil juga dapat melahirkan calon anak hiperaktif. Faktor genetik Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada anak kembar. Faktor psikososial dan lingkungan Pada anak hiperaktif sering ditemukan hubungan yang dianggap keliru antara orang tua dengan anaknya. Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang tergolong hiperaktif : * Orang tua perlu menambah pengetahuan tentang gangguan hiperaktifitas * Kenali kelebihan dan bakat anak * Membantu anak dalam bersosialisasi * Menggunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku, seperti menggunakan penguat positif (misalnya memberikan pujian bila anak makan dengan tertib), memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku anak * Memberikan ruang gerak yang cukup bagi aktivitas anak untuk menyalurkan kelebihan energinya * Menerima keterbatasan anak * Membangkitkan rasa percaya diri anak * Dan bekerja sama dengan guru di sekolah agar guru memahami kondisi anak yang sebenarnya Disamping itu anak bisa juga melakukan pengelolaan perilakunya sendiri dengan bimbingan orang tua. Contohnya dengan memberikan contoh yang baik kepada anak, dan bila suatu saat anak melanggarnya, orang tua mengingatkan anak tentang contoh yang pernah diberikan orang tua sebelumnya.

Artikel psikologi "kenakalan remaja"

Kenakalan Remaja Ada seorang Ibu yang tinggal di Jakarta bercerita bahwa sejak maraknya kasus tawuran pelajar di Jakarta, Beliau mengambil inisiatif untuk mengantar dan menjemput anaknya yang sudah SMU, sebuah kebiasaan yang belum pernah Beliau lakukan sebelumnya. Bagaimana tidak ngeri, kalau pelajar yang tidak ikut-ikutan-pun ikut diserang ? Mengapa para pelajar itu begitu sering tawuran, seakan-akan mereka sudah tidak memiliki akal sehat, dan tidak bisa berpikir mana yang berguna dan mana yang tidak ? Mengapa pula para remaja banyak yang terlibat narkoba dan seks bebas ? Apa yang salah dari semua ini ? Seperti yang sudah diulas dalam artikel lain di situs ini, remaja adalah mereka yang berusia antara 12 - 21 tahun. Remaja akan mengalami periode perkembangan fisik dan psikis sebagai berikut : * Masa Pra-pubertas (12 - 13 tahun) * Masa pubertas (14 - 16 tahun) * Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun) * Dan periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun) Masa pra-pubertas (12 - 13 tahun) Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja. Pada anak perempuan, masa ini lebih singkat dibandingkan dengan anak laki-laki. Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar pada remaja, yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai berkembangnya organ-organ seksual serta organ-organ reproduksi remaja. Di samping itu, perkembangan intelektualitas yang sangat pesat jga terjadi pada fase ini. Akibatnya, remaja-remaja ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya baik, serta menjadikannya sebagai "hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut, gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut. Selain itu, pada masa ini remaja juga cenderung lebih berani mengutarakan keinginan hatinya, lebih berani mengemukakan pendapatnya, bahkan akan mempertahankan pendapatnya sekuat mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh orang tua sebagai pembangkangan. Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak kecil lagi. Mereka lebih senang bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai dengan kesenangannya. Mereka juga semakin berani menentang tradisi orang tua yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun peraturan-peraturan yang menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh mampir ke tempat lain selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin kehilangan minat untuk bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan cenderung bergabung dengan teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan memilih main ke tempat teman karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke rumah saudara. Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh pertolongan dan bantuan yang selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka tidak mampu menjelmakan keinginannya. Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang terjadi saat itu, remaja akan mencarinya dari orang lain. Orang tua harus ingat, bahwa masalah yang dihadapi remaja, meskipun bagi orang tua itu merupakan masalah sepele, tetapi bagi remaja itu adalah masalah yang sangat-sangat berat. Orang tua tidak boleh berpikir, "Ya ampun... itu kan hal kecil. Masa kamu tidak bisa menyelesaikannya ? Bodoh sekali kamu !", dan sebagainya. Tetapi perhatian seolah-olah orang tua mengerti bahwa masalah itu berat sekali bagi remajanya, akan terekam dalam otak remaja itu bahwa orang tuanya adalah jalan keluar ang terbaik baginya. Ini akan mempermudah orang tua untuk mengarahkan perkembangan psikis anaknya. Masa pubertas (14 - 16 tahun) Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi. Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai dengan datangnya mimpi basah yang pertama. Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orang tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan remaja pada tahap ini. Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual. Karena kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya, remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri. Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun) Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa sebelumnya dengan baik, akan dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka juga bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan harga diri mereka. Masa ini berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa ini berlangsung lebih singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas mereka sudah tercapai sepenuhnya. Namun kematangan psikologis belum tercapai sepenuhnya. Periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun) Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai kematangan yang sempurna, baik segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan mempelajari berbagai macam hal yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu idealisme yang didapat dari pikiran mereka. Mereka mulai menyadari bahwa mengkritik itu lebih mudah daripada menjalaninya. Sikapnya terhadap kehidupan mulai terlihat jelas, seperti cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya. Arah kehidupannya serta sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase ini. Kenakalan remaja Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya. Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada.

Rabu, 13 Juni 2012

Artikel PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Kebohongan dan Popularitas Psikolog dari Universitas Massachusetts, Amerika Serikat, Robert S. Feldman menemukan adanya hubungan antara kebohongan dan popularitas di kalangan pelajar (anak muda). Penelitian yang dilakukan Robert S. Feldman ini dimuat dalam edisi terbaru Journal of Nonverbal Behavior. "Kami menemukan bahwa kebohongan yang dilakukan oleh pelajar sebenarnya menunjukkan bahwa pelajar tersebut memiliki kemampuan kontrol sosial yang tinggi", demikian kata Feldman. Feldman melakukan penelitian terhadap 32 orang tua pelajar tingkat menengah dan atas yang berusia antara 11 hingga 16 tahun, dan memberikan kuesioner yang berisi tentang berbagai informasi mengenai aktivitas anak-anak mereka, hubungan sosial, serta kemampuan anak-anak mereka di sekolah. Berdasarkan atas data-data itu, para pelajar dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang memiliki tingkat sosialisasi yang rendah, dan kelompok yang memiliki tingkat sosialisasi yang tinggi. Para pelajar dalam dua kelompok tersebut diminta satu persatu untuk melakukan tes terhadap rasa yang sedap pada minuman yang manis, serta minuman masam dan minuman yang tidak sedap. Kemudian mereka diminta untuk meyakinkan para pengawas bahwa mereka menyukai atau tidak menyukai apa yang mereka minum. Ini membuat para pelajar tersebut membuat satu pernyataan yang benar dan satu pernyataan yang bohong. Kegiatan itu direkam dalam bentuk video dan diedit secara seimbang menjadi bagian-bagian tertentu. Kepada 48 orang mahasiswa diperlihatkan rekaman ke-64 kegiatan tes itu untuk mengevaluasi efektifitas para pelajar mengekspresikan reaksi mereka saat mencicipi minuman yang disajikan dalam tes. Hasilnya ternyata bertentangan dengan tes minum yang dilakukan, umur, jenis kelamin para pelajar yang dites, dan kemampuan sosialisasi seperti yang dikatakan orang tua pra pelajar yang menjalani tes. "Kami ingin mendapatkan bahwa kemampuan sosialisasi yang tinggi akan membuat seseorang lebih mudah memperdayakan orang lain, atau bahwa menjadi seorang pembohong besar akan membuat seseorang semakin terkenal", kata Feldman. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja adolesen lebih mampu melakukan kebohongan dibandingkan dengan remaja yang lebih muda. Remaja putri juga didapati lebih bisa melakukan kebohongan dibanding remaja pria. Pada semua tingkatan usia dan jenis kelamin, mereka yang memiliki kemampuan sosialisasi yang lebih tinggi ternyata lebih berpotesial untuk menjadi pembohong besar. Saat berbohong, mereka lebih mampu mengendalikan ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, serta kontak mata. Sedangkan mereka yang kurang bagus kemampuan sosialisasinya, mengalami banyak kesulitan dalam mengontrol perilakunya saat berbohong. "Penelitian ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak realistis jika kita selalu berharap bahwa manusia akan selalu berkata jujur. Sebenarnya kita tidak ingin menerima kenyataan ini. Anak-anak pada usia muda berpikir untuk selalu bersopan santun dan berkata manis dalam segala situasi, meskipun sebenarnya yang mereka katakan bukanlah suatu kejujuran yang sebenarnya. Dengan begitu, mereka dapat diterima dengan baik oleh lingkungannya, semakin mendapat tempat, dan semakin populer", demikian kata Feldman.

Artikel Psikologi Perkembangan pada Anak

Ibu Bekerja & Dampaknya bagi Perkembangan Anak Salah satu dampak krisis moneter adalah bertambahnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena semakin mahalnya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu caranya adalah menambah penghasilan keluarga...akhirnya kalau biasanya hanya ayah yang bekerja sekarang ibupun ikut bekerja. Ibu yang ikut bekerja mempunyai banyak pilihan. Ada ibu yang memilih bekerja di rumah dan ada ibu yang memilih bekerja di luar rumah. Jika ibu memilih bekerja di luar rumah maka ibu harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi jika ibu mempunyai anak yang masih kecil atau balita maka seorang ibu harus tahu betul bagaimana mengatur waktu dengan bijaksana. Seorang anak usia 0-5 tahun masih sangat tergantung dengan ibunya. Karena anak usia 0-5 tahun belum dapat melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi, belajar, dan sebagainya. Mereka masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu maka orang tua atau khususnya ibu harus tahu betul bahwa pembantu tersebut mampu membimbing dan membantu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya. Kalau pembantu ternyata tidak dapat melakukannya maka anak-anak yang akan menderita kerugian. Pembentukan kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Anak yang berada di lingkungan orang-orang yang sering marah, memukul, dan melakukan tindakan kekerasan lainnya, anak tersebut juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang keras. Untuk itu ibu atau orang tua harus bijaksana dalam menitipkan anak sewaktu orang tua bekerja. Kadang-kadang hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan anak dalam dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik. Untuk itu maka ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana mengatur waktu. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia, tetapi tetap harus diingat bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya meskipun ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan stabil. Sedangkan untuk ibu yang bekerja di dalam rumahpun tetap harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana. Tetapi tugas tersebut tentunya bukan hanya tugas ibu saja tetapi ayah juga harus ikut menolong ibu untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga sehingga keutuhan dan keharmonisan rumah tanggapun akan tetap terjaga dengan baik.

Artikel PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK

Pengaruh Musik pada Anak Penelitian membuktikan bahwa musik, terutama musik klasik sangat mempengaruhi perkembangan IQ (Intelegent Quotien) dan EQ (Emotional Quotien). Seorang anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan musik akan lebih berkembang kecerdasan emosional dan intelegensinya dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan musik. Yang dimaksud musik di sini adalah musik yang memiliki irama teratur dan nada-nada yang teratur, bukan nada-nada "miring". Tingkat kedisiplinan anak yang sering mendengarkan musik juga lebih baik dibanding dengan anak yang jarang mendengarkan musik. Grace Sudargo, seorang musisi dan pendidik mengatakan, "Dasar-dasar musik klasik secara umum berasal dari ritme denyut nadi manusia sehingga ia berperan besar dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga manusia". Penelitian menunjukkan, musik klasik yang mengandung komposisi nada berfluktuasi antara nada tinggi dan nada rendah akan merangsang kuadran C pada otak. Sampai usia 4 tahun, kuadran B dan C pada otak anak-anak akan berkembang hingga 80 % dengan musik. "Musik sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Musik memiliki 3 bagian penting yaitu beat, ritme, dan harmony", demikian kata Ev. Andreas Christanday dalam suatu ceramah musik. "Beat mempengaruhi tubuh, ritme mempengaruhi jiwa, sedangkan harmony mempengaruhi roh". Contoh paling nyata bahwa beat sangat mempengaruhi tubuh adalah dalam konser musik rock. Bisa dipastikan tidak ada penonton maupun pemain dalam konser musik rock yang tubuhnya tidak bergerak. Semuanya bergoyang dengan dahsyat, bahkan cenderung lepas kontrol. Kita masih ingat dengan "head banger", suatu gerakan memutar-mutar kepala mengikuti irama music rock yang kencang. Dan tubuh itu mengikutinya seakan tanpa rasa lelah. Jika hati kita sedang susah, cobalah mendengarkan musik yang indah, yang memiliki irama (ritme) yang teratur. Perasaan kita akan lebih enak dan enteng. Bahkan di luar negeri, pihak rumah sakit banyak memperdengarkan lagu-lagu indah untuk membantu penyembuhan para pasiennya. Itu suatu bukti, bahwa ritme sangat mempengaruhi jiwa manusia. Sedangkan harmony sangat mempengaruhi roh. Jika kita menonton film horor, selalu terdengar harmony (melodi) yang menyayat hati, yang membuat bulu kuduk kita berdiri. Dalam ritual-ritual keagamaan juga banyak digunakan harmony yang membawa roh manusia masuk ke dalam alam penyembahan. Di dalam meditasi, manusia mendengar harmony dari suara-suara alam disekelilingnya. "Musik yang baik bagi kehidupan manusia adalah musik yang seimbang antara beat, ritme, dan harmony", ujar Ev. Andreas Christanday. Seorang ahli biofisika telah melakukan suatu percobaan tentang pengaruh musik bagi kehidupan makhluk hidup. Dua tanaman dari jenis dan umur yang sama diletakkan pada tempat yang berbeda. Yang satu diletakkan dekat dengan pengeras suara (speaker) yang menyajikan lagu-lagu slow rock dan heavy rock, sedangkan tanaman yang lain diletakkan dekat dengan speaker yang memperdengarkan lagu-lagu yang indah dan berirama teratur. Dalam beberapa hari terjadi perbedaan yang sangat mencolok. Tanaman yang berada di dekat speaker lagu-lagu rock menjadi layu dan mati, sedangkan tanaman yang berada di dekat speaker lagu-lagu indah tumbuh segar dan berbunga. Suatu bukti nyata bahwa musik sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup. Alam semesta tercipta dengan musik alam yang sangat indah. Gemuruh ombak di laut, deru angin di gunung, dan rintik hujan merupakan musik alam yang sangat indah. Dan sudah terbukti, bagaimana pengaruh musik alam itu bagi kehidupan manusia. Wulaningrum Wibisono, S.Psi mengatakan, "Jikalau Anda merasakan hari ini begitu berat, coba periksa lagi hidup Anda pada hari ini. Jangan-jangan Anda belum mendengarkan musik dan bernyanyi".

Artikel PSIKOLOGI ORGANISASI

ARTIKEL PSIKOLOGI ORGANISASI BELAJAR DARI FILM THE DEVIL WEARS PRADA Oleh : Benny Hendrawan, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog *) Film The Devil Wears Prada memang bukanlah film baru yang sedang tayang di bioskop-bioskop terkemuka di tanah air. Meskipun film made in Hollywood yang diproduksi oleh 20th Century Fox ini dirilis pada awal tahun 2006 lalu, namun pesan yang dikemas dalam film ini masih terasa sangat aktual jika dibandingkan dengan kondisi kita pada saat ini, khususnya jika dikaitkan dengan dunia kerja. Oleh karena itu, ketika menonton film yang masih dalam kategori anyar ini, penulis merasa tertarik untuk melakukan kajian kecil mengenai pesan-pesan dalam film ini dari sudut pandang psikologi dan manajemen sumber daya manusia. FILM THE DEVIL WEARS PRADA menceritakan kisah tentang seorang wanita bernama Andrea Sachs yang bekerja pada sebuah perusahaan media cetak yang menerbitkan majalah fesyen terkemuka, Runway. Dalam film ini dikisahkan bahwa Andrea Sachs adalah seorang wanita cerdas yang berpendidikan sarjana hukum yang bercita-cita ingin menjadi seorang jurnalis. Keinginan untuk menjadi seorang jurnalis itu mulai terbuka saat majalah Runway membuka lowongan pekerjaan. Karena sangat menginginkan pekerjaan itu, Andrea lalu mengajukan lamaran ke majalah tersebut. Gayungpun bersambut, tak lama setelah itu Andrea mendapat panggilan untuk mengikuti sesi wawancara. Sesuai dengan waktu yang disepakati, Andrea tiba di kantor Runway yang glamour dan sibuk, untuk melakukan wawancara dengan Emily, (asisten Miranda Priestly, pimpinan majalah Runway). Namun sesuatu yang tidak terduga terjadi, karena sesi wawancara yang seharusnya dilakukan oleh Emily, tiba-tiba berubah karena kedatangan Miranda Priestly yang mendadak. Bahkan diluar rencana semula, Miranda sendiri yang langsung melakukan wawancara dengan Andrea. Tanpa menunggu waktu, Andrea-pun menceritakan pengalaman menulis dan keinginannya untuk menjadi seorang jurnalis di depan Miranda. Namun apa yang terjadi di luar dugaan, Miranda ternyata sama sekali tidak tertarik dengan cerita Andrea. Merasa tidak memperoleh respon seperti yang diharapkan, Andrea akhirnya memutuskan untuk tidak meneruskan sesi wawancara. Namun kejadian tidak terduga kembali terjadi, karena Miranda tiba-tiba berubah pikiran dan memutuskan untuk ”mencoba” menerima Andrea sebagai staf atau asisten Miranda yang baru. Setelah Andrea resmi bekerja di majalah Runway, terjadi banyak intrik dan situasi kerja yang tidak menyenangkan bagi Andrea. Mulai dari sikap sinis yang ditunjukkan oleh rekan-rekan kerjanya, adanya jenis-jenis pekerjaan yang tidak terduga, situasi tegang dan super sibuk di lingkungan kantor, jam kerja yang tidak pasti, hingga pada sikap Miranda sendiri yang sangat perfectionis, otoriter, kaku, kasar, dan tidak komunikatif. Bahkan, sahabat dan teman dekat Andrea yang selama ini sangat mendukung karir Andrea, satu persatu mulai menjauh dari dirinya. Andrea-pun lalu terpojok pada situasi yang dilematis. Di satu sisi ia ingin meraih cita-citanya dengan cara bekerja yang sebaik-baiknya, namun di sisi yang lain, ia tidak ingin pekerjaannya itu menjauhkan dirinya dari sahabat dan teman dekatnya. PEMBAHASAN Jika memperhatikan situasi yang terlihat di dalam tayangan film The Devil Wears Prada ini, ada beberapa situasi yang menjadi permasalahan utama jika dilihat dalam setting dan perspektif dunia kerja. Beberapa permasalahan tersebut dapat dikategorikan kedalam empat situasi, yaitu: 1) situasi yang berkaitan dengan tempat kerja, 2) situasi yang berkaitan dengan kepemimpinan di tempat kerja, 3) situasi yang berkaitan dengan individu pekerja, dan 4) situasi yang berkaitan dengan lingkungan sosial (di luar tempat kerja). Adapun permasalahan yang terdapat pada masing-masing situasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Situasi yang berkaitan dengan tempat kerja Pada situasi ini, ada beberapa permasalahan yang membuat situasi kerja di kantor majalah Prada terasa tidak kondusif, antara lain: 1) tidak adanya deskripsi jabatan dan uraian tugas untuk mengukur kinerja/ prestasi kerja Andrea, 2) tidak adanya jam kerja normatif sehingga tidak ada pemisahan secara tegas antara jam kerja dengan jam di luar kerja serta hari-hari libur, dan 3) proses kerja berlangsung secara mekanik (seperti robot) sehingga mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan seseorang untuk bersosialisasi atau bergaul dengan masyarakat, teman, dan keluarga. Deskripsi jabatan Dalam melaksanakan sebuah pekerjaan, salah satu hal terpenting yang harus dilaksanakan oleh perusahaan adalah adanya deskripsi jabatan pada setiap jabatan. Dalam kasus Andrea, tidak terlihat fungsi, tugas, dan tanggungjawab yang relevan dengan jabatannya selaku asisten Miranda. Akibatnya, Andrea lebih banyak bekerja secara serabutan diluar fungsi, tugas, dan tanggungjawab utamanya. Karena ketidakjelasan jabatan ini, maka Andrea mengalami banyak tekanan mental dalam menjalani pekerjaannya, yang berakibat kepada munculnya sikap kerja yang reaktif terhadap situasi-situasi kerja tertentu. Deskripsi jabatan ini sendiri merupakan gambaran tentang bagaimana suatu pekerjaan harus dilakukan. Ada tiga hal yang harus dicantumkan dalam deskripsi jabatan, yaitu: ringkasan jabatan (job summary), syarat-syarat kerja (job requirement), dan luas lingkup tugas (scope of duties). Selain itu, deskripsi jabatan juga harus memuat tentang metode dan prosedur kerja, fungsi, tugas, dan tanggungjawab, hubungan antara pekerjaan satu dengan pekerjaan lain, persyaratan pekerjaan seperti syarat intelektual, akademis, sosial, minat, dan kondisi emosi (As’ad, 1991). Jam kerja Pada dasarnya seorang karyawan harus memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat setelah seharian bekerja. Kondisi fisik maupun psikis mempengaruhi seseorang dalam mengarahkan aktivitas kehidupannya. Kesehatan fisik menjadi modal utama untuk melakukan aktivitas, sedangkan kesehatan psikis menciptakan kondisi mental yang stabil. Kondisi fisik dan mental karyawan yang baik akan sangat menunjang kesuksesan karyawan tersebut dalam mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan dan urusan-urusan lain dengan baik. Setelah bekerja di kantor seorang karyawan dapat mulai melakukan tugasnya di lingkungannya bila tenaga dan pikirannya telah pulih kembali dari kelelahan. Hal ini membutuhkan pengetahuan, pemahaman, dan penilaian individu terhadap kelebihan dan kekurangannya, sehingga karyawan tahu dengan tepat apa yang dapat dikerjakan di kantor maupun di lingkungan, tanpa harus memaksakan diri karena menginginkan hasil yang lebih baik, itu artinya karyawan dapat menerapkan manajemen diri dengan baik. Dalam kasus Andrea, masalah ketidakjelasan jam kerja ini terlihat cukup menonjol. Pada beberapa adegan digambarkan bahwa Andrea harus masuk kerja atau melakukan pekerjaan kantor pada saat ia sedang istirahat di rumah atau pada saat ia sedang berkumpul bersama dengan teman-temannya. Akibatnya, Andra beberapa kali merasa kesulitan dalam memanajemen waktunya, baik waktu yang berkaitan dengan pekerjaan maupun dengan lingkungan sosialnya. Menurut Covey (1994) waktu merupakan aset yang sangat berharga. Pengelolaan waktu yang tepat dapat menjauhkan individu dari konflik internal seperti stres, maupun konflik eksternal seperti konflik peran. Menurut Macan (1990) manajemen waktu ini merupakan cara yang digunakan dalam mengelola waktu, seperti membuat daftar, membuat skala prioritas, membuat jadwal dan rencana kegiatan sehari-hari baik di kantor maupun di rumah, misalnya karyawan membuat jadwal kegiatan yang akan dilakukan selama satu hari, apa yang harus dilakukan di rumah dan di kantor. Proses kerja yang bersifat mekanik (seperti robot) Manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan berbagai bentuk relasi dengan lingkungan sosialnya. Tanpa relasi itu, seorang manusia tidak akan mampu menjalani hidupnya secara optimal. Dalam dunia kerja juga demikian. Setiap orang yang bekerja selalu ingin menunjukkan sisi kemanusiaannya dengan cara bersosialisasi atau bergaul dengan masyarakat, teman, dan keluarga. Pada kasus Andrea ini, kesempatan setiap karyawan untuk melakukan relasi sosial menjadi terhambat karena tingkat aktivitas pekerjaan yang sedemikian padat dan mekanis. Akibatnya, karyawan sama sekali tidak bisa menjalin hubungan sosial. Menurut Johnson dan Johnson (1991) hubungan interpersonal dan sosial merupakan sumber yang berkualitas dalam hidup manusia. Manusia sebagai mahluk sosial tidak terlepas dari individu lain, manusia melakukan hubungan dengan alam, sesama, dan tuhannya. Situasi yang berkaitan dengan kepemimpinan di tempat kerja Pada situasi ini, ada beberapa permasalahan yang membuat situasi kepemimpinan di kantor majalah Prada terasa tidak efektif, antara lain: 1) adanya sistem pengambilan keputusan yang sentralistik, dan 2) adanya kepemimpinan yang tidak efektif dan otoriter, 3) adanya stres kerja yang sangat tinggi yang dirasakan oleh orang-orang yang bekerja di perusahaan itu, dan 4) adanya komunikasi yang tidak efektif antara atasan dan bawahan sehingga menciptakan iklim organisasi yang tidak sehat. Sistem pengambilan keputusan yang sentralistik Pada dasarnya, fungsi pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi tidak hanya dijalankan oleh seorang yang berkedudukan sebagai manajer atau pimpinan. Pengambilan keputusan terjadi pada semua bidang dan tingkat kegiatan serta pemikiran manusia (Salusu, 1998). Namun pada kasus perusahaan Prada, seluruh aktivitas pengambilan keputusan terpusat pada satu kendali yaitu Miranda. Akibatnya, ketergantungan organisasi kepada sosok Miranda menjadi sangat besar, sementara para staf di bawahnya tidak diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk memutuskan sesuatu secara mandiri. Akibatnya, banyak sekali keputusan-keputusan penting yang diambil oleh Miranda bersifat tiba-tiba. Padahal menurut Wilson & Schooler (1991) keputusan yang terbaik adalah keputusan yang diambil secara sengaja dan disertai pemikiran yang matang. Untuk itu Robbins (1998) memberikan enam langkah dalam proses pengambilan keputusan yaitu menetapkan masalah, mengidentifikasi kriteria keputusan, mengalokasi bobot pada kriteria, mengembankan alternatif, evaluasi alternative, dan memilih alternatif terbaik. Jika melihat tayangan film ini secara utuh, nampak sekali bahwa perilaku Miranda yang terkesan sewenang-wenang dalam mengambil keputusan ini, karena dilatarbelakangi oleh situasi internal Miranda yang penuh gejolak, seperti status perkawinannya yang berada di ambang kehancuran atau karena adanya rencana suksesi kepemimpinan di perusahaan Prada yang dipenuhi oleh intrik-intrik tajam. Situasi yang seperti ini dibenarkan oleh Cervone dkk (1991) yang dalam penelitiannya menemukan fakta bahwa suasana hati yang positif dapat meningkatkan kecepatan dan efisiensi pengambilan keputusan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Baradell & Klein (1993) menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa hidup yang tidak menyenangkan berhubungan dengan rendahnya kualitas pengambilan keputusan. Kepemimpinan yang tidak efektif dan otoriter Seperti banyak diutarakan oleh banyak ahli, kepemimpinan merupakan aspek terpenting dari efektivitas organisasi. Organisasi yang efektif adalah apabila kepemimpinan yang diterapkan di dalam organisasi itu mampu mendorong kinerja karyawan secara optimal. Untuk itu menurut As’ad (1991), setiap pemimpin perlu mengoptimalkan tanggungjawabnya kepada bawahan. Tanggungjawab itu meliputi: 1. Semua pimpinan haruslah menetapkan tujuan bagi karyawan-karyawannya. 2. Semua pimpinan haruslah melatih karyawannya dan membantu mereka menjadi lebih efektif dalam pekerjaannya. 3. Semua pimpinan haruslah meninjau kemajuan karyawannya dalam bentuk hasil dan tujuan yang telah dicapainya dan tidak menghargai aktivitas atau kegagalan mereka tetapi hasil nyata dari tujuan mereka. 4. Semua pimpinan hendaklah memberikan bimbingan. Jika tidak kelompok terombang-ambing, suasana kerjasama akan berkurang dan karyawan akan bekerja menurut arahnya masing-masing. 5. Semua pimpinan hendaklah menggunakan metode baru dalam kelompok dan bidang mereka untuk membuat anggota kelompok terus-menerus menjadi lebih efektif. 6. Semua pimpinan hendaklah membuat perencanaan untuk masa mendatang. Pimpinan harus memproyeksikan kesempatan-kesempatan dan kesulitan-kesulitan dan merencanakan tindakan pengembangan untuk menyelesaikan pokok persoalan yang penting. Pimpinan berhasil hanya bila orang-orang dalam kelompoknya berhasil. 7. Semua pimpinan harus mengembangkan kemampuan orang-orangnya. 8. Bila menghargai prestasi karyawan pimpinan hendaklah menggunakan standar sosial dan finansial yang mereka tetapkan untuk karyawan. Situasi yang berkaitan dengan individu pekerja Pada situasi ini, ada beberapa permasalahan yang membuat situasi individu yang bekerja di majalah Prada itu merasa tidak puas dan tidak bahagia, antara lain: 1) adanya konflik peran ganda yang dialami oleh Andrea, dan 2) adanya problem dalam memanajemen diri sendiri. Konflik peran ganda Salah satu aspek yang paling menonjol dalam tayangan film ini adalah yang menyangkut pertentangan atau konflik peran ganda yang dirasakan oleh para tokoh utamanya seperti Andrea dan Miranda. Jika Andrea mengalami konflik peran dengan teman dekatnya, maka Miranda mengalami konflik peran dengan suami dan anak-anaknya. Adanya koflik peran ganda ini menjadi sangat mewarnai perjalanan hidup Andrea dan Miranda yang berpengaruh terhadap sifat dan perilaku mereka sehari-hari. Seperti diketahui, peran ganda seorang wanita yang bekerja sangat riskan dengan konflik, sebab pada umumnya perempuan cenderung memprioritaskan keluarganya ketimbang pekerjaannya. Hal ini dapat menghambat proses pelaksanaan pencapaian efektivitas kinerja. Apabila konflik yang dihadapi terlalu banyak akan menghambat seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga menyebabkan perubahan dalam diri. Menurut penelitian Adam, dkk (1996) disebutkan bahwa konflik peran ganda ini memiliki efek-efek negatif seperti ketidakpuasan kerja, ketidakpuasan hidup, kecemasan, tekanan kerja, dan ketertekanan emosional. Selain itu, angka perceraian dari wanita yang bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja (Schazult dan Schazult, 1994). Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Kinnunnen (1998) yang menemukan fakta bahwa konflik di tempat kerja akan berpengaruh terhadap kehidupan di rumah tangga dan sebaliknya konflik di rumah tangga dapat mengganggu pelaksanaan pekerjaan. Manajemen diri Dalam film ini terlihat jelas beberapa situasi yang memperlihatkan bahwa beberapa tokoh utama di dalam film ini mengalami permasalahan dalam hal manajemen diri. Salah satu contoh situasi itu adalah pada saat sosok Miranda sangat bergantung kepada Andrea atau pada saat Andrea harus tidur bersama koleganya sebagai imbal budi atas bantuan koleganya tersebut dalam mendapatkan buku Herry Potter edisi terbaru. Perilaku-perilaku ini menunjukkan adanya permasalahan dalam manajemen diri pada para tokoh utama dalam film tersebut. Thoresen & Mahoney (Manz & Sims, 1985) menguraikan bahwa manajemen diri adalah suatu metode yang digunakan oleh seseorang dalam bekerja dengan cara melakukan pengontrolan terhadap hasil kerja yang dilakukan oleh dirinya sendiri tanpa harus ada kontrol dari luar. Dengan menggunakan catatan tentang hasil kerja yang sudah lalu, mereka menilai dan mengevaluasi hasil kerja yang baru dicapainya (Suhartini, 1992). Menurut Bernardin & Russell (1993), apabila hasil penilaian kinerja pada faktor quality, quantity, timeliness, dan cost effectiveness tinggi, maka orang mampu menghasilkan pekerjaan yang berkualitas dan mendekati sempurna, kuantitas pekerjaan yang dihasilkannya memenuhi target, dapat menyelesaikan tugas pekerjaan tepat waktu, bahkan dapat memaksimalkan waktu yang tersedia untuk melakukan aktivitas lain, dan efektif dalam penggunaan sumber-sumber dalam organisasi (teknologi, materi, manusia, uang dan lain sebagainya). Apabila need for supervision rendah, maka orang mampu bekerja dengan pengawasan atasan yang rendah, dan apabila faktor interpersonal impact tinggi, maka orang memiliki kemampuan interpersonal yang baik, mengembangkan selfesteem, dan dapat bekerja sama dengan rekan maupun bawahan. Hal-hal itulah yang menunjukkan bahwa orang tersebut adalah pekerja yang efektif. Situasi yang berkaitan dengan lingkungan sosial pekerja Pada situasi ini, ada beberapa permasalahan yang membuat situasi lingkungan sosial pekerja menjadi terlihat tidak mendukung, antara lain tidak adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat saat Andrea menghadapi permasalahan kerja. Padahal menurut Mathis dan Jackson (2002) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas kinerja karyawan adalah dukungan yang diberikan dan dukungan rekan kerja dapat berupa informasi mengenai cara untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Salah satu manfaat dari dukungan sosial rekan kerja adalah membantu meningkatkan produktivitas melalui peningkatan motivasi, kualitas penalaran, kepuasan kerja, dan mengurangi stress kerja. Menurut Thoits (1986) dukungan sosial bersumber dari orang yang memiliki hubungan berarti dengan individu, misalnya: keluarga, teman dekat, pasangan hidup, rekan kerja, saudara, dan tetangga. Sedangkan menurut Taylor (1995) dukungan itu dapat diperoleh dari suami/ isteri, teman, kelompok sosial, dan lain-lain. Bagi seorang karyawan, dukungan sosial merupakan modal yang berharga dalam upaya mencapai prestasi kerja yang tinggi Menurut Hodson (1997) dukungan sosial di tempat kerja akan dapat memberikan suatu kontribusi terutama pada produktivitas dan kesejahteraan karyawan. Pendapat ini didukung oleh Lim (Moorr, 2000) yang mengatakan bahwa dukungan sosial dari sesama rekan kerja sangat diperlukan karyawan untuk mencapai kinerja kerja yang tinggi. Lim (Moorr, 2000) juga mengatakan bahwa dukungan yang berasal dari sumber yang berkaitan dengan pekerjaan akan lebih efektif dibandingkan dengan dukungan dari pihak lain. Di sini, dukungan diartikan sebagai kesenangan dan bantuan yang diterima melalui hubungan formal atau informal dengan rekan di dalam atau di luar kelompok (Klein, dkk, 2001). Rekan kerja yang mendukung menciptakan situasi tolong menolong, bersahabat, dan bekerjasama akan menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan serta menimbulkan kepuasan dalam bekerja (Hadipranata, 1999). KESIMPULAN DAN SARAN Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan yang berkaitan dengan dunia kerja memiliki implikasi yang sangat luas, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dalam film The Devil Wears Prada ini secara lugas digambarkan betapa persoalan-persoalan kecil atau sepele yang terjadi di dalam organisasi, ternyata berdampak sangat besar terhadap keseluruhan organisasi. Salah satu contohnya adalah, pada saat Andrea memperoleh kesempatan untuk menyertai Miranda melawat ke Paris dalam rangka menghadiri acara peragaan busana. Kesempatan ini diperoleh Andrea karena asisten I Miranda yang bernama Emily --yang seharusnya menyertai Miranda—terkena penyakit flu. Akibat dari kejadian kecil ini, karir Andrea menjadi kian bersinar, terbuka lebar, dan banyak dikenal oleh para kolega Miranda. Dari kesimpulan ini, penulis menyarankan beberapa pendekatan atau intervensi guna mengatasi persoalan yang terjadi di perusahaan Prada, atau paling tidak kepada perusahaan atau organisasi yang mengalami persoalan serupa dengan kisah film ini. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut: Bagi perusahaan Mekanisme kerja yang terdapat dalam perusahaan Prada perlu dikembangkan menjadi lebih humanis, dinamis, dan berorientasi pada hubungan intrapersonal yang bermartabat. Menurut Caroll (1996), salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi perubahan mekanisme kerja itu adalah dengan melakukan konseling yang berorientasi pada perubahan organisasi (organizational-change model). Konseling model ini bertujuan untuk memfasilitasi pengelolaan aktivitas kerja dengan cara mengoptimalkan peran organisasi dan pekerja. Melalui konseling ini diharapkan akan diperoleh poin-poin penting bagi upaya mengelola perubahan di dalam perusahaan secara lebih terencana. Bagi pimpinan Terkait dengan pengaruh pemimpin terhadap perilaku kerja karyawan, beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemimpin memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap para bawahannya, antara lain: pengaruh pemimpin dalam peningkatan rasa percaya bawahan terhadap atasan (Butler, dalam Ambrose dan Schminke, 2003; Konovsky dan Pugh, 1994), keberhasilan kerja bawahan (Spreitzer, dkk, 1999), kepuasan kerja dan extra effort bawahan (Seltzer dan Bass, 1990), pencapaian organisasi (Meindl, dkk, 1985; Chen & Meindl, 1991), pencapaian kerja bawahan (Cannella & Rowe, 1995), dan lain sebagainya. Salah satu upaya meningkatkan peran pemimpin yang efektif bagi peningkatan kinerja karyawan adalah dengan cara membangun sistem komunikasi yang terbuka, jelas, tegas, tidak ambigu, dan beorientasi pada upaya menciptakan hubungan yang harmonis antara atasan dan bawahan. Pada kasus yang terdapat di film ini terlihat bahwa komunikasi yang dibangun oleh pimpinan (Miranda) sangat tidak efektif bagi upaya membangun hubungan yang harmonis dengan bawahan atau dengan orang-orang lain di sekitarnya, seperti kolega, suami, atau anak. Menurut Caroll (1996), salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi perubahan efektivitas kepemimpinan itu adalah dengan melakukan konseling yang berorientasi pada fokus permasalahan (problem-focus model). Selain itu, model konseling lain yang bisa dilakukan untuk menghindari benturan kepentingan, maka dapat digunakan konseling yang menggunakan jasa konselor dari luar organisasi (externally-based model). Kedua model konseling ini dapat digunakan untuk memfasilitasi perbaikan sikap pemimpin dari yang tidak efektif menjadi lebih efektif. Bagi karyawan Bagi seorang karyawan, kenyamanan dan keamanan kerja sangat berkaitan dengan situasi internal organisasi. Artinya, ketika situasi internal organisasi tidak kondusif, maka yang akan terjadi adalah timbulnya perasaan tidak nyaman dan perasaan terancam di dalam diri setiap karyawan. Akibat lebih lanjut adalah, karyawan tidak mampu mengaktualisasikan kemampuan kerjanya secara optimal. Untuk membantu mengeliminasi timbulnya perasaan-perasaan tersebut, maka setiap karyawan perlu diberikan kesempatan atau fasilitas untuk mengekspresikan perasaannya. Salah satu upaya untuk mengekspresikan perasaannya itu adalah dengan melakukan proses konseling dengan konselor, baik konselor yang ada di dalam organisasi maupun yang ada di luar organisasi. Menurut Caroll (1996), salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi usaha karyawan untuk mengekspresikan perasaannya itu adalah dengan melakukan konseling yang berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan atau kebahagiaan karyawan (welfare-based model). Selain itu, model konseling lain yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan konseling yang beorientasi kepada pemecahan masalah-masalah di dalam pekerjaan (work-oriented model). Kedua model konseling ini dapat digunakan untuk memfasilitasi keinginan karyawan untuk memperbaiki kualitas pekerjaan dan kualitas kehidupannya. Semoga dari film ini kita dapat belajar banyak mengenai bagaimana mengelola organisasi, mengelola diri sendiri, dan mengelola orang lain dalam upaya mencapai tujuan bersama. DAFTAR PUSTAKA Ambrose, M.L. dan Schminke, M. 2003. Organization Structure as a Moderator of the Relationship Between Procedural Justice, Interactional Justice, Perceived Organizational Support, and Supervisory Trust. Journal of Applied Psychology. Vol. 88 No. 2, 295-305. As’ad, M. 1991. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty. Baradell, J. g., & Klein, K. 1993. Relationship of life Stress and Body Consciousness ti Hypervigilant Decision Making. Journal of Personality and Social Psychology. 64, 2, 267 273. Bernardin, H. J., & Russell, J. E. A. 1993. Human Resource Management, an Experiental Approach. Singapore: McGraw-Hill. Cannella, A.A., dan Rowe, W.G. 1995. Leader Capability, Succession, and Competitive Context: A Study of Professional Baseball Teams. Leadership Quarterly. Vol. 6. No. 01, 59-88 Caroll, M. 1996. Workplace Counselling A Systematic to Employee Care. London: SAGE Publication Ltd. Cervone, D., Jiwani. N., & Wood, R. 1991. Goal Setting and The Differential Influence of Self-Regulatory Process on Complex Decision Making Performance. Journal of Personality and Social Psychology. 61, 2, 257-266. Chen, C.C., dan Meindl, J.R. 1991. The Construction of Leadership Image in the Popular Press: The Case of Donald Burr and People Express. Administrative Sciences Wuarterly, Vol. 36, 521-551 Covey, S. R. 1994. Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hadipranata, F. A. 1999. Pengaruh Pembentukan Kelompok (Team Building) terhadap Etos Kerja dan Kontribusinya bagi Produktivitas Insani. Jurnal Psikologi. Vol. 20. No. 01, 18-28. Hodson, C. 2007. Psychology and Work . First Published. Routledge. New York. Johnson, D.W., dan Johnson, F.P. 1991. Joining Together: Group Theory and Group Skill. 7th ed. Englewood Chiffs: Prentice-Hall, Inc. Konovsky, M.A. dan Pugh, S.D. 1994. Citizenship Behavior and Social Exchange. Academy of Management Journal. Vol. 37, 656-669. Macan, T. H. 1994. Time Management: Test of Process Model. Journal of Applied Psychology. 79, 3, 381 391. Manz, C. C., & Sims, H. Positivisme, Jr. 1985. Self-Management as A Substitude Leadership: A Social Learning Theory Perspective. New York; Mc graw-Hill. Meindl, J.R., Ehrlich, S.B., dan Dukerich, J.M. 1985. The Romance of Leadership. Administrative Science Quarterly. Vol 30, 78-102 Robbins, S. P. 1998. Organizational Behavior Konsepth, Conrtroversies, Aplication Eighth Edition. Prentice Hall Internasional. Salusu. 1998. Pengambilan Keputusan Strategik Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Jakarta: Grasindo Gramedia. Seltzer, J., dan Bass, B.M. 1990. Transformational Leadership Beyond Initiation and Consideration. Journal of Management. Vol. 16. No. 4, 693-703. Spreitzer, G.M., Janasz, S.C., dan Quinn, R.E. 1999. Empowered to Lead: The Role of Psychological Empowerment in Leadership. Journal of Organizational Behavior. Vol. 20, 511-626. Taylor, S.E. 1995. Health Psychology, International Edition. Singapore: McGraw-Hill Book Co. Thoits, P.A. 1986. Social Support As Coping Assistance. Journal of Counsulting and Clinical Psychology, 54, 416-423.

Artikel PSIKOLOGI ISLAM

PARADIGMA PENDEKATAN PSIKOLOGI ISLAM* Oleh: Hayati Nizar (Guru Besar Psikologi Islam IAIN IB Padang) A. Pendahuluan Kata ”paradigm” dalam bahasa Inggeris berarti ”model” atau ”pola” (John M. Echols & Hasan Shadili, 1990:417). Ali Mudhafir (1992: 114-115) mengemukakan beberapa pendapat tentang pengertian ”paradigma” di antaranya yang dikemukakan oleh: a) Freidrichs Robert yang mengungkapkan bahwa paradigma adalah suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalannya,. b) Thomas Samuel Kuhn yang menjelaskan bahwa paradigma yaitu cara-cara meninjau benda-benda; asumsi yang dipakai bersama yang mengatur pandangan dari suatu zaman dan pendekatannya dalam masalah-masalah ilmiah; c) G. Ritzer yang mengungkapkan bahwa paradigma adalah pandangan fundmental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian paradigma yakni pandangan fundamental/mendasar atau menjadi asumsi dasar dan sekaligus aturan main dalam suatu disiplin ilmu. Jamaluddin Ancok dan Fuad Nashori (1995: xii) mengemukakan bahwa dalam bidang psikologi telah lahir paradigma dalam melakukan studi terhadap manusia sesuai dengan aliran-aliran psikologi yang ada. Paradigma tersebut misalnya, Wilhem Wundt, tokoh psikologi Strukturalisme memakai paradigma ”kesadaran”; Sigmund Freud; tokoh Psikoanalisa menggunakan paradigma ”ketaksadaran”; J. B. Watson, tokoh Behaviorisme menggunakan paradigma ”objektif”; dan Abraham Maslow, tokoh psikologi Humanistik menggunakan paradigma ”humanistik” atau ”kemanusiaan” Paradigma ilmu pengetahuan modern atau sains adalah objektivitas dan rasionalitas. Suatu studi dikatakan ilmiah apabila memiliki sifat objektif dan rasional. Rasionalitas dan objektivitas menilai kebenaran pada dirinya sendiri dan pada hakikatnya bersifat relatif. Ajaran agama Islam memberitahukan bahwa dunia objektif atau dunia empiris itu semu Umat Islam memerlukan acuan yang mutlak, tidak berubah seiring dengan pergeseran zaman dan perubahan peradaban masyarakat yaitu al-Qurān dan Hadis. B. Pendekatan al-Qurān dan Hadis M. Izzuddin Taufiq (2006: 28-53) mengemukakan tiga kelompok sikap umat Islam dalam memberikan respon terhadap ide untuk rekonstruksi Islami bagi studi kejiwaan. Pertama, sikap menentang dari kalangan Islam secara umum dengan alasan bahwa Islam sangat kaya dan tidak memerlukan rekonstruksi. Di samping itu kebudayaan mereka tidak memperbolehkan mereka untuk membahas studi kejiwaan secara spesifik. Kedua, sikap menentang dari kalangan psikologi sendiri karena mereka meragukan perwujudan rekonstruksi tersebut. Berkenaan dengan hal itu, Ismail Faruqi yang gencar mengupayakan Islamisasi ilmu pengetahuan mengemukakan keluhannya bahwa dalam lembaga di mana ia melakukan penelitian terdapat seratus ribu anggota yang menyandang gelar magister dan doktoral, namun sedikit sekali yang dapat diperhitungkan keberadaannya, yang memiliki pemikiran kritis dalam memberikan label Islami. Banyak dari mereka hanya mengekor kepada hasil kajian barat dan tidak peduli dengan rekonstruksi ini, bahkan menjadi orang yang paling ragu dan memandang mustahil perwujudannya dan lebih jauh melakukan provokasi terhadapnya. Ketiga, menerima pemikiran rekonstruksi dan terlibat aktif untuk mewujudkannya. Sikap ini muncul dari kesadaran bahwa psikologi barat telah maju dengan pesat dan pengaruhnya telah dirasakan dalam penelitian ilmiah. Dalam hal ini dia mencontohkan peradaban yang telah maju misalnya bangsa Amerika dengan kesadaran terhadap budaya mereka cukup berpengaruh pada dunia ilmu pengetahuan pada umumnya, termasuk psikologi. Kesadaran ini memunculkan label ”Amerika” di segala bidang. Semua seolah mengikuti model atau pola, ala Amerika baik dalam melakukan penelitian, cara pikir, bertingkah laku, dan gaya hidup. Semuanya itu membentuk karakteristiknya sendiri dan berupaya membangun pusat penelitian jiwa manusia yang tujuannya bukan semata-mata untuk kajian ilmiah, tetapi buat mengadakan perubahan. Berkenaan dengan ini dapat dikemukakan pola yang ada misalnya pada bangsa Israel (Zionisme), Gereja Koptik (Kristen), dan Uni Sovyet (Komunis). Pola Israel dengan cara mengukuhkan rasa berbudaya dan beragama pada bangsa Yahudi dengan memfungsikan ilmu sosial melalui penelitian akademis, perkuliahan, dan badan informasi yang ada baik di dalam negara Israel sendiri maupun di luar. Di sisi lain, mereka menghapus kebudayaan Arab dan Islam pada bangsa Palestina dengan menggunakan ilmu sosial dan merealisasikannya. Mereka memiliki berbagai pusat kajian dan penelitian untuk tujuan tersebut. Gereja Koptik, pola yang dilaluinya lebih mengarah kepada psikologi terapan dengan menjadikan penelitian psikologi sebagai sarana dakwah agama Nasrani dan menanamkan pentingnya agama dalam kesehatan jiwa. Para pastor dan pendeta mengadakan konseling agama dalam melayani umat yang dilaksanakan di rumah sakit jiwa, sekolah, karang taruna, dan berbagai institusi lainnya. Di samping itu, mereka juga mengadakan muktamar kesehatan jiwa bagi para agamawan. Pola yang digunakan oleh Uni Soviet setelah kemenangan komunis adalah dengan mengukuhkan Marxisme baik dari segi teori maupun terapannya. Dari sisi teori ditekankan beberapa konsep yakni konsep mutlak, konsep stimulus respon, konsep pengalaman masa lalu, dan konsep kontradiksi atau konflik. Konsep mutlak yaitu fenomena kejiwaan yang terjadi adalah mutlak memiliki sebab akibat. Stimulus respon maksudnya bahwa semua fenomena kejiwaan adalah stimulus respon yang dikondisikan. Pengalaman masa lalu yaitu bahwa fenomena kejiwaan hanya dapat dipahami dari runtutan sejarah perkembangan individu dalam masyarakat. Konsep kontradiksi/konflik yakni pertumbuhan individu ditentukan oleh pertentangan antara motivasi dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Dari sisi terapan, pandangan komunis beranggapan bahwa penyimpangan kejiwaan muncul lantaran strukturisasi yang terdapat dalam masyarakat yang mengarah kepada kezaliman, pengangguran, dan hilangnya HAM. Terapi yang ditekankan dalam pola ini adalah terapi kerja. Dengan timbulnya kesadaran ini, maka umat Islam perlu merekonstruksi studi psikologi dengan memulai dari sumber ajaran Islam yakni al-Qurān dan Hadis. Dalam studi ini digunakan istilah ”Psikologi Islam”, bukan ”Psikologi Islami” dengan memakai ”ya” nisbah yang mengindikasikan pensifatan dimaksudkan untuk memotivasi bahwa kajian psikologi perlu bertolak dari sumber ajaran Islam, bukan kajian yang dipandang sejalan dengan atau bernuansa Islam. Dengan istilah tersebut, para ahli yang melakukan studi terhadap psikologi dengan sendirinya tersugesti untuk memulainya dari al-Qurān dan Hadis. M. Usman Najati, (1985: 7-8) mengemukakan bahwa umat Islam perlu merujuk kepada al-Quran dan Hadis, kemudian menelusuri perkembangan pemikiran tentang kajian kejiwaan yang dilakukan oleh para pemikir muslim terdahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahuai secara benar tentang konsep-konsep kejiwaan Islam, agar dapat melandasi penelitian-penelitian berikutnya. Ia juga mengeritik psikologi modern yang memakai metode penelitian ilmu fisika yang bertumpu kepada realitas empiri objektif yang pada hakikatnya ilmu ini kehilangan roh yang menjadi objek utama dari penelitian ilmu jiwa. Fuad Nashori (2002: 61-68) berpendapat bahwa studi yang dilakukan umat Islam terhadap psikologi dapat dibagi kepada empat pola yakni 1) perumusan psikologi dengan bertitik tolak dari al-Qurān dan Hadis; 2) perumusan psikologi bertitik tolak dari khazanah keislaman; 3) perumusan psikologi dengan mengambil inspirasi dari khazanah psikologi modern dan membahasnya dengan pandangan dunia Islam; dan 4) merumuskan konsep manusia berdasarkan pribadi yang hidup dalam Islam. Hanna Djumhana Bastaman (2005: 222) juga mengungkapkan bahwa studi terhadap manusia harus dicari dalam al-Qurān karena kitab suci tersebut merupakan samudera keilmuan maha luas dan kedalaman yang tak terhingga. Abdul Mujib (1999: ix-x) mengemukakan tiga tipe studi terhadap kejiwaan dalam Islam yaitu 1) Islam dijadikan pisau analisis bagi pengkajian psikologi; 2) sebaliknya, psikologi dijadikan pisau analisis dalam memecahkan persoalan-persoalan psikologis umat Islam; 3) menggali psikologi dari al-Qurān dan Hadis. Aliah B. Purwakania Hasan (2006:14) juga mengemukakan bahwa umat Islam memerlukan metode penelitian yang sesuai untuk mengembangkan psikologi dalam perspektif Islam. Untuk itu perlu dilihat ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Ayat qauliyah berasal dari al-Quran dan Hadis, sedangkan ayat kauniyah berasal dari pengamatan alam semesta. Pendekatan yang lebih pas untuk psikologi Islam adalah gabungan antara metodologi Tafsir al-Quran dan Hadis serta metode ilmu pengetahuan modern pada umumnya. Baharuddin (2004: 343-345) berupaya menghadirkan paradigma Psikologi Islami dengan berangkat dari al-Qurān dan Hadis, dengan keyakinan bahwa keduanya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Penelitian yang dilakukannya untuk Disertasi berupaya berangkat dari al-Qurān dengan mengungkap kata ”al-basyar, al-ins, al-insān, al-nās, al’aql, dan al-rûh yang tercantum dalam al-Qurān. Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan di atas kita berkesimpulan bahwa titik tolak yang digunakan dalam penelitian psikologi Islam adalah al-Qurān dan Hadis. C. Al-Qurān dan Penafsirannya Al-Qurān yang diturunkan kepada Rasul untuk menjadi panduan bagi manusia menjadi sumber inspirasi buat pengembangan ilmu, karena panduan ini berisikan isyarat-isyarat ke arah itu. Agar isyarat tersebut dapat dipahami, diperlukan penafsiran. Secara historis dapat diketahui bahwa para ulama terdahulu berupaya memahami al-Qurān dengan menafsirkannya. Sahabat Rasul senantiasa mengacu kepada inti kandungannya dengan melihat hukum dan penjelasan dari ayat-ayat yang berisikan nasehat, petunjuk, kisah-kisah agamis yang dapat diambil dari redaksi ayat. Seandainya redaksi ayat tidak dapat dipahami, maka para sahabat merujuk kepada hal-hal yang mereka ketahui tentang sebab-sebab turun ayat. Sekiranya sebab-sebab turun ayat itu tidak diketahui pula, maka para sahabat mendiskusikannya. Pada masa khilafah bani Umayyah dan bani ’Abbasiyah, penafsiran al-Qurān mengacu kepada Hadis di mana yang menjadi perhatian adalah bagaimana sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in menafsirkannya. Penafsiran dilakukan dengan cara mengumpulkan Hadis-hadis yang berfungsi menafsirkan al-Qurān menurut urutan ayat-ayat di dalam Mushhaf ’Usmaniy. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, para ulama Tafsir mulai memasukkan analisa gramatika bahasa, sastra, dan pemikiran sesuai dengan bidang yang diminatinya (Ali Hasan al-’Aridh terj.1992:15-23). Secara umum, Quraish Shihab (1992: 83-84) membagi corak penafsiran kepada dua bentuk yakni tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’tsur yaitu menggunakan riwayat dengan memperhatikan bahasa dan syair-syair pra Islam dalam penafsiran sebagaimana dilakukan pada masa sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Penafsiran jenis ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Diantara kelebihannya adalah menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran; memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan al-Quran; dan mengikat penafsir dalam bingkai teks ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan. Kekurangannya antara lain terabaikannya pesan-pesan utama al-Quran dan sebab-sebab turun ayat lantaran uraian kebahasaan dan kesusasteraan terlalu panjang dan mendetail. Corak tafsir bi al-ma’tsur saja tidak dapat dipertahankan, karena wilayah Islam bertambah luas dan penduduk di wilayah tersebut tidak semua memakai bahasa Arab sebagai bahasa harian. Rasa (zuq) bahasa al-Quran hanya dimiliki oleh penafsir yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu namun tidak demikian pada penafsir yang berbahasa selain bahasa Arab (’ajam). Disamping itu ilmu pengetahuan berkembang pesat dan membutuhkan penafsiran dengan menggunakan penalaran atau memanfaatkan ijtihad dan disebut tafsir bi al-ra’yi. Penafsiran semacam ini lebih menekankan kepada bidang yang diminanti oleh penafsir dan dengan demikian terdapat pengelompokan buku-buku tafsir kepada beberapa corak yakni: 1) Tafsir ŝūfiy yaitu penafsiran yang menggunakan analisis tasawuf[1] dalam memberikan penjelasan 2) Tafsir fiqhi yakni penafsiran al-Qurān dengan mengeluarkan hukum-hukum dari ayat-ayat yang ditafsirkan. 3) Tafsir falsafiy dengan menggunakan analisis filsafat dalam menafsirkan ayat. 4) Tafsir adabiy adalah penafsiran yang menggunakan analisis peradaban masyarakat sepanjang sejarah dalam menafsirkan ayat. 5) Tafsir ’ilmiy yaitu menafsirkan ayat-ayat tentang alam (kauniyah) dengan menggunakan analisis berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang. Tafsir ’ilmiy atau penafsiran ilmiah diperdebatkan oleh para ulama terdahulu, ada yang menerima dan ada yang menolak, namun M. Izzuddin Taufiq (2006: 64-66) mencoba mengambil posisi tengah dengan memberikan definisi sebagai penafsiran yang dipahami oleh orang umum dengan mendayagunakan ilmu alam dan ilmu humaniora sebagai sarana dalam memahami ayat-ayat al-Qurān yang lebih luas, lalu mengelompokkannya sesuai dengan topik-toipk yang berkaitan dengan ilmu tertentu. Dalam melakukan penafsiran ilmiah, tidak dibenarkan mengikuti kemauan pikiran sendiri, tetapi harus mengacu kepada persyaratan umum yang perlu dipenuhi oleh penafsir. Persyaratan umum itu sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab (1992:79) yaitu: a) memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; b) memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Qurān, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; c) memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok agama; dan d) memiliki pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bentuk penafsiran ilmiah sebagaimana dikemukakan oleh M. Izzuddin Taufiq (2006: 66-70) dapat diklasifikasikan kepada tiga arah. Pertama, memberikan perluasan makna terhadap ayat-ayat al-Qurān dan Hadis Rasul disertai dengan bukti-bukti penemuan baru. Kedua, penjelasan atau penemuan baru menjadi bukti atas keotentikan al-Quran dan Hadis. Ketiga, mengklasifikasikan sejumlah ayat dan Hadis pada topik kajian atau keilmuan tertentu sehingga menggambarkan arah yang islami. Cara atau metode yang digunakan dalam penalaran dikelompokkan oleh al-Farmawi sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab (1992: 85-87) kepada empat cara atau metode yakni tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’iy. Tahliliy adalah penafsiran yang dilakukan dengan menguraikan atau menjelaskan kandungan ayat-ayat dan surat-surat secara berurutan sesuai dengan urutannya di dalam mushhaf. Cara yang dilakukan biasanya dimulai dengan menguraikan kosa kata dan arti yang dimaksudkan; sasaran dan kandungan ayat; unsur-unsur kesusasteraan; hukum yang dapat dikeluarkan dari ayat; norma-norma akidah serta akhlak; perintah; larangan; janji dan ancaman; kaitan antar ayat; dan keterpautan antara ayat yang ditafsirkan dengan ayat yang sebelum dan sesudahnya. Juga dikemukakan tentang sebab-sebab turun ayat (asbāb al-nuzūl). Dengan metode ini banyak hal yang dapat dijelaskan dari suatu ayat, hanya saja membutuhkan waktu yang relatif lama. Metode ini banyak digunakan oleh para ulama terdahulu misalnya, al-Alūsiy, Fakhr al-Rāziy, al-Qurthubiy, Ibnu Jarir al-Thabariy, dan lainnya. Metode ijmaliy kebalikan dari tahliliy yakni penafsiran ayat dilakukan secara singkat dan global, tanpa uraian yang panjang lebar. Penafsir membatasi penjelasannya tentang pengertian ayat dengan bahasa yang mudah dipahami sesuai dengan urutan ayat dan surat dalam mushaf. Yang termasuk ke dalam penafsiran jenis ini antara lain buku tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qurān oleh Ahmad al-Marāghiy, Tafsīr al-Qurān al-Karīm karya Mahmud Syaltut, dan Tafsīr al-Wādhih oleh Muhammad Mahmud Hijāziy. Metode muqāran yakni menafsirkan ayat dengan cara mengambil sejumlah ayat dan membandingkan penafsiran yang dikemukakan oleh beberapa ulama tafsir, kemudian menganalisisnya dengan melihat kecenderungan penafsir, lalu mengambil kesimpulannya. Dengan metode ini, penafsir dituntut kemampuannya dalam menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang diteliti, kemudian menentukan sikap dengan penalaran yang jelas dan logis untuk menerima atau menolak penafsiran ulama tersebut. Metode maudhūiy atau tematik yaitu menghimpun ayat-ayat yang berbicara tentang suatu masalah atau tema. Menurut ‘Ali Hasan al-’Aridh bahwa cara ini dapat mengantarkan pada hakikat suatu masalah dengan efektif dan efisien. Selanjutnya, Quraish Shihab (1992:117) juga mengemukakan bahwa metode ini lebih baik karena menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis yang disepakati kesahihannya dapat memberikan kesimpulan yang mudah dipahami. Di samping itu cara ini dapat membawa kepada petunjuk yang tepat dan membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qurān menyentuh berbagai permasalahan dan beragam segi kehidupan serta sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Juga membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qurān tidak bertentangan antara satu dengan lainnya. Dengan penafsiran ayat dengan ayat ini, Ibnu Khaldun berpendapat sebagaimana dikemukakan oleh Dawam Raharjo (2005:11, 23) bahwa kaum muslimin tidak mengalami kesulitan dalam memahami al-Quran. Dawam juga mengungkapkan bahwa pertama kali tertarik kepada penafsiran al-Qurān, dia berupaya menafsirkan ayat dengan ayat. Menurutnya ini dapat dilakukan oleh ilmuwan atau ulama di Indonesia sekalipun oleh orang yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, karena dewasa ini terdapat mushaf bersama terjemahnya. D. Hadis dan Cara Memahaminya. Hadis secara semantis bahasa berarti ”baru (jadīd)”, lawan dari ”lama (qadīm).” Secara terminologis, Hadis adalah segala sesuatu yang muncul dari Rasul Muhammad S.A.W berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Di sini Hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama sebagaimana dikemukakan oleh Raf’at Fauzi ’Abd al-Muthallib (1400 H/1981 M: 19). Secara umum, Hadis-hadis Rasul meliputi dua hal yakni sanad dan matan. Sanad yaitu orang-orang yang menerima dan menyampaikan atau dengan istilah lain orang-orang yang dilalui oleh Hadis. Matan yakni lafaz atau redaksi Hadis. Ketika suatu Hadis dijadikan sebagai sumber ajaran Islam, maka tinjauan terhadap kualitas sanad dan matan amat diperlukan. Pada awal agama Islam disebarkan oleh Rasul Muhammad, Hadis belum dituliskan karena dikhawatirkan tercampur dengan al-Qurān yang dapat mengakibatkan pencemaran kemurnian al-Qurān itu sendiri. Terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang penulisan Hadis pada masa Rasul, namun mereka sepakat bahwa perhatian terhadap Hadis secara khusus dimulai pada masa ’Umar ibn ’Abdul ’Aziz menjadi khalifah (99-102 H / 717-720 M). Ia menganjurkan para ulama untuk memperhatikan Hadis Rasul dan menghimpunnya. Secara khusus ia menugaskan Ibnu Syihab al-Zuhri untuk menghimpun Hadis-hadis. Sekalipun perhatian khusus terhadap Hadis baru dimulai pada masa Umar ibn ’Abdul ’Aziz dan dalam rentang waktu yang relatif lama telah terjadi perubahan politik pemerintahan, perkembangan wilayah, dan berbagai perubahan sosial lainnya namun umat Islam sangat berhati-hati dalam menerima dan menjadikan Hadis sebagai sumber ajaran yang dapat diperpegangi. Mereka menjaga kemurnian Hadis dengan melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadis. Hasil-hasil penelitian mereka terhimpun dalam kitab-kitab Hadis yang dapat diperpegangi (mu’tamad) yakni kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sahih Turmuzi, Sunan Nasā i, al-Muwaththa! karya Imam Malik, dan Musnad karya Ahmad ibn Hanbal. Kitb-kitab Hadis tersebut dapat dijadikan rujukan dalam menghimpun Hadis-hadis berkenaan dengan Psikologi Islam. Sehubungan dengan paradigma pendektan Psikologi Islam, maka keberadaan Hadis dapat digunakan dalam dua fungsi. Pertama, berfungsi sebagai penjelas atau penafsir ayat-ayat al-Quran yang dikaji. Kedua, sebagai titik tolak penelitian dengan menghimpun Hadis-hadis secara tematis. Hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa Muhammad S.A.W adalah pemimpin umat yang memiliki kepribadian sempura sebagai insān kāmil, oleh karenanya segala sesuatu yang bersumber daripadanya dapat dijadikan sebagai acuan berperilaku. Untuk memahami matan Hadis diperlukan ilmu yang berkaitan dengan Bahasa Arab dan Ushul Fiqh. Adapun ilmu yang berkaitan dengan Bahasa Arab meliputi hal-hal sebagaimana dikemukakan oleh Abu Yasir al-Hasan al-’Alamiy (tt.: 251-286) berikut: 1) Derivasi kata dan pengertiannya. Umumnya suatu kata dalam bahasa Arab, akar katanya tiga huruf, sebagian kecil saja yang berakar pada empat huruf. Sebagai contoh dikemukakan misalnya, kata ”astaghfiru”( استغفر ) akar katanya “ghafara” ((غفر yang berarti “mengampuni”. Istaghfara-yastaghfiru (استغفر – يستغفر ) diberi imbuhan di depannya dengan “ista” ( است ) berubah pengertiannya menjadi “meminta ampun”. Astaghfiru ( أسستغفر ) dengan ”hamzah” ( أ ) di depan berarti ”saya minta ampun”. 2) Kaedah nawu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) 3) Ilmu Balaghah (sastra) dan susunan bahasa Arab. 4) Syi’r-syi’r yang berkembang pada pra dan awal Islam serta bermanfaat untuk menafsirkan matan Hadis yang kurang populer. 5) Kebiasaan bangasa Arab dalam menggunakan kalimat antara lain: ü Berbeda ungkapan lahiriah dengan maksud yang sebenarnya misalya, orang ’Arab mengungkapkan ” ” قا تله الله ما أشعره yang artinya ”semoga Allah memerangi apa yang diinformasikannya” pada waktu memuji ucapan seseorang, padahal dalam hatinya ”tidak menginginkan seperti itu”. ü Menghilangkan sebagian kata untuk memendekkan (mukhtashar) kalimat misalnya, Hadis riwayat Abu Dawud ”من قطع سدرة صوب الله رأسه في النار ” (siapa yang memangkas pohon sidr, Allah mengarahkan kepalanya ke dalam api). Menurut Abu Dawud bahwa Hadis ini dipendekkan (mukhtashar) maksud sebenarnya ”siapa yang memangkas pohon sidr di lapangan terbuka di mana tempat bernaung orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan hewan dengan tujuan bermain-main dan keaniayaan tanpa hak (tanpa alasan yang dibenarkan), akan diarahkan kepalanya oleh Allah ke dalam api (neraka). ü Menyembunyikan sebagian kalimat dalam pembicaraan misalnya, Hadis Abu Hurairah ”إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث “ (hati-hatilah terhadap prasangka, sesungguhnya prasangka itu adalah pembicaraan yang lebih bohong). Menurut Khaththabi bahwa ada kata yang disembunyikan yakni ”su’ ( إياكم وسوء الظن ) artinya hati-hatilah terhadap jahat/buruk sangka. ü Mengulang-ulang dengan tujuan menguatkan informasi yang disampaikan. ü Berbicara kepada satu orang, tetapi menggunakan kata ganti untuk banyak orang. ü Mengungkapkan sesuatu dengan cara berlebihan dengan maksud kinayah (sindiran) misalnya, Hadis ’Aisyah yang berbunyi ”أسرعكن لحوقا بى أطولكن يدا “ artinya bahwa Rasul bersabda kepada para isterinya : ”yang paling cepat di antara kalian bertemu denganku adalah yang paling panjang tangannya”. Ungkapan ”paling panjang tangan” maksudnya bukan dalam pengertian hakiki, tetapi kinayah yaitu pemurah atau suka bersedekah. ü Menggunakan kata untuk sesuatu yang menjadi akibat dari perbuatan misalnya, Hadis Abu Hurairah yang berbunyi: ” لا ترغبوا عن أبائكم فإنه من رغب عن أبيه فقد كفر ” (janganlah membenci bapakmu, barangsiapa benci terhadap bapaknya, sesungguhnya ia kafir). Benci terhadap bapak hukumnya sama dengan durhaka terhadap orang tua dan perilaku demikian sama dengan perilaku orang kafir. Mengenai pemahaman terhadap kaedah-kaedah Ushul Fiqh sebagaimana dikemukakan oleh Abu Yasir al-Hasan al-’Alamiy (t.t.: 288-388) sebagai berikut: 1. Kalimat yang bernuansa amar (perintah) meliputi: ü Menggunakan fi’il amar contoh: sabda Rasul صلوا كما رأيتمونى أصلى artinya: salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku salat ü Menggunakan fi’il mudhari’ yang disertai lam amar contoh: Hadis Rasul: والله لتأمرن بالمعروف ولتنهون عن المنكر –الحديث- artinya: demi Allah, hendaklah kamu menyuruh berbuat baik dan hendaklah kamu melarang berbuat munkar…. ü Menggunakan mashdar sebagai pengganti dari fi’il amar contoh: sabda Rasul صبرا أل ياسر فإن موعدكم الجنة artinya: sabarlah hai keluarga Yasir sesungguhnya tempat yang dijanjikan (Allah) untukmu adalah surga ü Menggunakan isim fi’il amar contoh: sabda Rasul عليكم بما تطيقون مه artinya: tahanlah dirimu, hendaklah kamu melakukan apa yang kamu sanggupi ü Susunan kalimat dalam bentuk informasi namun bertujuan agar adanya tuntutan melaksanakan pekerjaan misalnya, sabda Rasul riwayat Ibnu Hibban: أن تؤتى عزائمه إن الله يحب أن تؤتى رخصة كما يحب artinya: sesungguhnya Allah senang diberikan keringanan sebagaimana Dia senang diberikan kebulatan hati/tekad. Hadis ini susunannya dalam kalimat berita tetapi isinya perintah agar memberikan keringanan dan memperlihatkan kebulatan tekad dalam menyelesaikan sesuatu (perbuatan/urusan). Para ulama ushul berpendapat bahwa amar berkonotasi tuntutan untuk melakukan sesuatu (perbuatan) Dari segi hukum Islam, pada prinsipnya amar melahirkan hukum wajib kecuali ada karenah yang mengindikasikan lain misalnya menjadi sunat (nadab) atau bersifat anjuran. 1. Kalimat yang bernuansa nahi (larangan) Secara bahasa ”nahi” berarti ”perintah untuk meninggalkan” dan secara terminologis yaitu ungkapan yang mengindikasikan tuntutan untuk meninggalkan atau tidak mengerjakan. Ungkapan demikian antara lain : ü Fi’il mudhari’ yang disertakan dengan ”lā” nahi sebagai contoh dikemukakan sabda Rasul riwayat Turmuzi وأنفقوا فى سبيل الله ولا تلقوا بأ يديكم إلى التهلكه artinya bernafkahlah kamu di jalan Allah dan janganlah kamu jatuhkan tanganmu ke dalam kebinasaan. ü Shigat amar yang artinya menyuruh untuk menjauhi misalnya, Hadis riwayat Bukhari إجتنبوا السبع الموبقات artinya jauhilah tujuh yang mencelakakan (syirik dengan Allah, sihir, menghilangkan nyawa orang yang diharamkan, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang dalam memerangi orang kafir, dan menuduh orang berzina). ü Shigat nahi misalnya, Hadis yang diriwayatkan oleh Malik أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الثمار حتى يبدو صلاحها artinya bahwa Rasulullah s.a.w melarang menjual buah-buahan sampai jelas baik bentuknya. ü Ungkapan yang bentuknya informasi (jumlah khabariyyah) yang mengindikasikan larangan mengharamkan misalnya, Hadis riwayat Bukhari ألا لايحل لكم الحمار الاهلى ولا كل ذى ناب من ااسباع artinya: ketahuilah tidak halal bagimu keledai jinak dan tidak pula segala yang memiliki taring dari binatang buas … 1. Mengetahui umum dan khusus. Umum menurut sebagian besar ahli ushul yaitu kata yang berlaku umum bagi segala sesuatu yang pantas untuknya dengan menyebutkan satu lafaz. Khusus yakni nama untuk sesuatu yang telah ditentukan. Ungkapan yang hampir sama dengan pengertian ini adalah muthlaq dan muqayyad. 2. Menanggungkan yang mujmal atas yang mubayyan. Mujmal yaitu sesuatu yang belum jelas dan mubayyan adalah sesuatu yang sudah jelas. 3. Mengetahui yang zahir (menurut leterlik) dan muawwal (ditakwilkan). Yang dimaksudkan di sini adalah mengetahui pengertian lahiriyah dan pengertian yang ditakwilkan atau ditafsirkan. 1. E. Kesimpulan Paradigma pendekatan Psikologi Islam memulai dari al-Qurān dan Hadis, namun secara metodologis keduanya berbeda. Penelitian al-Qurān dan Hadis bermuara pada penemuan kerangka konseptual dari suatu pengajian, sementara Psikologi Islam dapat melanjutkan pada pengajian lapangan dengan menggunakan parameter yang telah dirumuskan dalam psikologi barat. Hasil kajian psikologi barat dalam penyusunan skala psikologi dapat bermanfaat misalnya, sebagai pedoman teknis dalam cara menyusun tes kepribadian, penyusunan skala sikap, dan beberapa parameter lainnya. Untuk konstruksi kerangka konseptual, hasil pengajian Tafsir dan Hadis dapat dijadikan sebagai acuan. Ketika diperlukan penelitian lapangan untuk mengetahui kondisi senyatanya pada manusia dapat digunakan hasil kajian psikologi barat yang bebas nilai. Hal ini menjadikan kerangka konseptual yang dilahirkan dari al-Qurān dan Hadis memandu suatu penelitian dan penggunaan parameter psikologi barat diperlakukan sebagai acuan teknis. Dengan demikian Psikologi Islam hadir sebagai ilmu jiwa dan ilmu perilaku yang tidak kehilangan roh. Saya pikir, pendekatan tasawuf yang digunakan oleh para ulama tasawuf terdahulu juga bermula dari al-Qurān dan Hadis, kemudian menjabarkannya dengan pemikiran rasional dan rasa keagamaan. Ini berarti bahwa pendekatan tasawuf identik dengan pendekatan Psikologi Islam. Daftar Kepustakaan ’Abd al-Muthallib, Rafaat Fauzi, Tautsīq al-Sunnah fī al-Qarn al-Tsaniy al-Hijriy, Mesir: Maktabah al-Khananjiy, 1400 H /1981 M Abdurrahman, ”Ilmu Hadis sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopdi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, jld 4, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002 Abu Rayyah, Mahmud, Adhwa! ’Ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, Mesir: Dār al-Ma’ārif, cet. IV, t.t. Al-Bukhāri, Imam Abû ’Abddillah Muhammad ibn Ismā’il ibn Ibrāhīm ibn Mughīrah ibn Bardizbah, Shahih al-Bukhāri, juz, Beirut: Dār al-Fikri, 1401 H/1981 M Ali Mudhafir, Kamus Istilah Filsafat, Yogyakarta: Liberty, cet. I, 1992 Al-’Alamiy, Abu Yasir al-Hasan, Fiqh as-Sunnah an-Nabawiyyah, Dirayatan wa Tanzīlan, Disertasi tak diterbitkan Atkinson. Rita L dkk. terj. Nurdjanah Taufiq & Rukmini Barhana, Pengantar Psikologi, jld. I, Jakarta: Erlangga, 1983 Al-’Aridh, Ali Hasan. Tārikh ’Ilmal-Tafsīr wa Manāhij, terj. Ahmad Akram, Sejarah dan Medodologi Tafsir, Jakarta: Rajawali, 1992. Amal, Taufik Adnan. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Akar dan Awal, jld. I, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002. Al-Qurān dan Terjemahnya, Medinah: Mujamma’ Khādim al-Haramain al-Malik Fahd li aththiba’ al-Mushhaf al-Syarīf, t.t. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Studi tentang Elemen Psikologi dari l-Qurān, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2004 Badri, Malik B. The Dilemma of Muslim Psychologists, terj. Anas Mahyudin. Psikolog Islam di Lobang Buaya, Yogyakarta: Karyono, t.t. Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil, 2005 Echols, John M & Hassan Sadily, Kamus Inggeris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet XVIII, 1990 Mujib, Abdul, Fitrah & Kepribadian Islam, Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Darul Falah, 1999 M/1420 H Najati, M. Usman. terj. Ahmad Rafi’i ’Usmani. Al-Quran dan Ilmu Jiwa, Bandung: Pustaka, 1405 H/1985 M. ——————— terj. Zainuddin Abu Bakar. Psikologi dalam Perspektif Hadis, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 1425 H/2004 M. Nashori, Fuad, Agenda Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Purwakania Hasan, Aliah B. Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Rahardjo, Dawam, Paradigma al-Qurān, Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005. Salim, Peter, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English Press, 1991 Taufiq, M. Izzuddin, terj. Sari Narulita dkk. Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, Jakarta: Gema Insani, 2006. Tim Kashiko. Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Kashiko, 2000. Schultz, Duane. Growth Psychology: Models of the Healthy Personality, terj. Yustinus, Psikologi Kepribadian, Model-model Kepribadian Sehat, Yogyakarta: Kanisius, 1991. Usman Ismail, Asep “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jld 3, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t.